Minggu, 24 Oktober 2010

HARAMNYA MENCELA PENGUASA

Syari’at yang lurus ini melarang seseorang dari mencela penguasa, sebab mencela mereka akan menjurus kepada tidak mentaatinya dalam perkara yang ma’ruf, dan akan membangkitkan emosi masyarakat terhadap mereka, yang akan membuka jalan terjadinya kekacauan yang tidak akan kembali kepada manusia melainkan kejahatan yang merebak, sebagaimana kebiasaan mencela mereka akan berakhir dengan melakukan pemberontakan atas mereka, dan memeranginya. Dan ini merupakan malapetaka yang dahsyat dan musibah yang besar.
Mengotori kehormatan para penguasa dan menyibukkan diri dengan mencelanya, serta menyebut aib-aibnya merupakan kesalahan besar dan kejahatan yang buruk yang dilarang oleh syari’at yang suci, dan mencela pelakunya, dan ini merupakan bibit sikap memberontak terhadap penguasa yang merupakan inti rusaknya agama dan dunia. Dan telah diketahui bahwa wasilah (perantara) memiliki hukum yang sama dengan tujuan, maka setiap nash yang mengharamkan keluar dari ketaatan dan celaan terhadap pelakunya merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya mencela dan tercelanya pelakunya.(53)
Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam “At-tamhid” dari Anas bin Malik Rahimahullah bahwa beliau berkata :
” كان الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهوننا عن سبِّ الأمراء”
“Adalah para pembesar dari shahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang kami dari mencela para penguasa.”

MENASEHATI PENGUASA

Nasehat bagi penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting, sebagaimana yang dikeluarkan Muslim dalam shohihnya dari Tamim Ad-Dari bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:

” الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ”
“Agama itu nasehat”. Kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab: ”Bagi Allah, kitab- Nya.Rasul-Nya, dan bagi para pemimpin kaum muslimin dan keumuman kaum muslimin.”
Dan dikeluarkan Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Tiga hal yang hati seorang muslim tidak dengki padanya: ikhlas dalam beramal karena Allah, menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan komitmen dengan jama’ah mereka, karena sesungguhnya do’a itu terkabulkan bersama mereka”(54)
Makna hadits ini bahwa ketiga perkara ini: yaitu ikhlas dalam beramal karena Allah, menasehati penguasa, dan komitmen dengan jama’ah, maka barangsiapa yang melakukannya, maka dalam hatinya tidak terdapat sifat iri dan dengki.
Berkata Abu Nu’aim Al-Asbahani: “Barangsiapa yang menasehati para pemimpin dan penguasa maka dia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang menipu mereka, maka dia menyimpang dan melampaui batas.”(55)

BEBERAPA BENTUK MENASEHATI PENGUASA

Dalam menasehati penguasa ada empat cara:
Pertama: menasehati penguasa secara rahasia antara dia dan penguasa.
Kedua: menasehati penguasa didepan manusia secara terang-terangan di hadapannya,dalam keadaan memungkinkan menasehatinya secara tersembunyi.
Ketiga: menasehati penguasa secara tersembunyi, lalu keluar dari sisi penguasa dan menyebarkannya dikalangan manusia.
Keempat:mengingkari penguasa disaat dia tidak ada melalui majelis-majelis, nasehat, khutbah, pelajaran, dan semisalnya. Maka keempat cara ini, akan kami sebutkan secara terperinci masing- masing dari bentuk tersebut:
Bentuk pertama: menasehati penguasa secara tersembunyi
Menasehati penguasa secara tersembunyi termasuk prinsip dalam manhaj salafy yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ dan bid’ah seperti khawarij:
Sebab asal hukum menasehati penguasa adalah secara rahasia dan tidak terang-terangan. Hal ini berdasarkan apa yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya dari ‘Iyyadh berkata : bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka jangan dia menampakkannya secara terang-terangan, namun dia mengambil tangannya dan bersepi dengannya, jika dia menerima maka itulah yang diinginkan, namun jika tidak maka dia telah menunaikan kewajibannya.”(56)

Perkataannya: “Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa tentang satu perkara”, terdapat keumuman lafadz baik bagi yang menasehati maupun perkara nasehatnya.
Perkataannya: “jangan dia menampakkan secara terang-terangan”, padanya terdapat larangan menasehati secara terang-terangan, dan larangan menunjukkan haramnya, dan wajib merahasiakannya.
Perkataannya: ”namun hendaklah dia mengambil tangannya dan bersepi dengannya, padanya terdapat penjelasan cara syar’i dalam menasehati penguasa, yaitu secara rahasia, tidak dengan terang-terangan .”Bersepi dengannya” yaitu sendirian. Seperti ucapan Usamah : ”Apakah kalian menganggap bahwa aku tidak berbicara dengannya melainkan aku perdengarkan kepada kalian, demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku dan dia.”
Hal ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua shohihnya dari Syaqiq dari Usamah bin Zaid berkata: dikatakan kepadanya: “Mengapa engkau tidak masuk bertemu Utsman dan mengajaknya berdialog”. Beliau menjawab: “Apakah kalian menganggap bahwa jika aku berbicara dengannya , saya harus memperdengarkan kepada kalian, demi Allah, aku telah berbicara dengannya, antara aku dan dia tanpa membuka suatu perkara yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.”
Maka dalam atsar ini menunjukkan bahwa nasehat secara terang-terangan merupakan perkara mungkar yang dapat menimbulkan fitnah, dan bahwa dengan cara rahasia merupakan prinsip dalam menyempurnakan penyampaian nasehat tanpa fitnah dan tanpa menimbulkan gejolak dikalangan rakyat terhadap pemimpinnya, dari ucapannya:
“Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya antara aku dan dia” dan ucapannya
“tanpa aku membuka perkara yang aku tidak senang menjadi orang pertama yang membukanya.”
Berkata Imam Nawawi: “Maksudnya adalah melakukan pengingkaran secara terang-terangan terhadap para penguasa di kalayak ramai, seperti yang dilakukan oleh para pembunuh Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Dan pada ucapan diatas terdapat adab bersama para penguasa dan bersikap lembut terhadap mereka, dan menasehati mereka secara rahasia dan menyampaikan kepadanya apa yang diucapkan oleh manusia tentang mereka agar mereka berhenti darinya, dan ini semua jika hal tersebut memungkinkan. Namun jika tidak mungkin menasehatinya dan mengingkarinya secara rahasia, maka dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak hilang prinsip al-haq.”(57)
Perkataannya: ”Ini semua jika hal tersebut memungkinkan” yaitu memungkinkan bagi yang menasehatinya penguasa secara rahasia, maka itu yang wajib baginya, tidak yang lainnya.
Perkataannya: ”Jika tidak memungkinkan menasehatinya dan mengingkarinya secara rahasia, maka dia boleh melakukannya secara terang-terangan agar tidak hilang prinsip al-haq”, yaitu bahwa dia tidak mengingkari secara terang-terangan kecuali dalam keadaan sangat terpaksa,(58) oleh karena itu ‘Iyyadh (bin Ghunm) mengingkari Hisyam tatkala dia mengingkarinya secara terang-terangan tanpa keadaan darurat. Maka tidak ada tindakan dari Hisyam melainkan menerimanya, Wallahu a’lam.
Berkata Syekh Bin Baaz ketika mengomentari atsar Usamah :
“Tatkala mereka membuka kejahatan di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu dan mengingkari Utsman Radhiyallahu ‘anhu secara terang-terangan, maka semakin sempurnalah fitnah, peperangan, dan kerusakan yang pengaruhnya masih terasa hingga hari ini, sampai terjadi fitnah antara Ali dan Mu’awiyah, dan antara pembunuh Utsman dan Ali dengan sebab itu. Dan terbunuh sekian banyak dari para shahabat dan selainnya dengan sebab melakukan pengingkaran secara terang-terangan dan menyebut ‘aib secara transparan, sehingga menyebabkan masyarakat membenci penguasa mereka, sampai merekapun membunuhnya. Kami memohon kepada Allah keselamatan.”(59)
Dan dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Sa’id bin Jumhan bahwa dia berkata: “Aku bertemu dengan Abdullah bin Abi Aufa lalu aku berkata: sesungguhnya penguasa itu mendzalimi manusia dan bertindak kasar terhadap mereka.” Maka dia mengambil tanganku dan menusuknya dengan tusukan yang keras lalu berkata: “Celaka engkau wahai Ibnu Jumhan, hendaklah engkau berpegang kepada sawadul a’dzam(60), hendaklah engkau berpegang kepada sawadul a’dzam. Jika penguasa itu mau mendengar darimu maka datangilah rumahnya lalu kabarkan apa yang engkau ketahui, jika dia menerima itu darimu, namun jika tidak maka biarkan dia, sebab kamu tidaklah lebih mengetahui tentang hal itu darinya.”
Perhatikanlah Shahabat yang mulia Ibnu Abi Aufa mencegahnya dari membicarakan penguasa, dan memerintahkannya untuk menasehatinya secara rahasia dan bukan terang-terangan.
Berkata Ibnu Nuhas rahimahullah: “Hendaknya dia memilih pembicaraan bersama penguasa ditempat sepi daripada berdialog dengannya dihadapan umum”.(61)
Dan berkata Asy Syaukani: ”Sepantasnya bagi yang mengetahui kesalahan pemimpin dalam sebagian permasalahan agar menasehatinya, dan jangan menampakkan celaan terhadapnya di hadapan khalayak ramai, namun sebagaimana yang terdapat dalam hadits bahwa dia mengambil dengan tangannya lalu berduaan dengannya, dan menyampaikan nasehat dan jangan menghinakan penguasa milik Allah (di muka bumi).(62)
Berkata para Imam Dakwah: “Apa yang terjadi pada penguasa dari kemaksiatan, dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lembut, dan mengikuti metode salafus soleh dengan tidak mencelanya dimajelis-majelis dan kumpulan manusia.”(63)
Dan berkata Allamah As-Sa’di rahimahullah: “Bagi siapa yang melihat dari mereka (para penguasa,pen) sesuatu yang tidak halal, agar memberikan peringatan kepadanya dengan cara rahasia, tidak dengan terang-terangan, dengan lembut dan dengan ungkapan yang sesuai keadaan.”(64)
Berkata Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Cara yang diikuti dikalangan salaf adalah menasehati antara mereka dengan penguasa (secara rahasia), menulis surat kepadanya, menghubungi para ulama yang punya hubungan dengannya agar membimbingnya kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran bisa dilakukan tanpa penyebut pelakunya, maka dia mengingkari zina, minum khamr, riba, tanpa menyebut orang yang melakukannya. Dan cukup mengingkari kemaksiatan dan memberi peringatan darinya dengan tanpa menyebut bahwa si fulan melakukannya , (tanpa menyebut) apakah dia hakim atau bukan.”(65)

Bentuk kedua: Menasehati penguasa di depan manusia secara terang-terangan, dalam keadaan memungkikan menasehatinya secara rahasia.
Bentuk seperti ini diharamkan, berdasarkan beberapa ha berikut ini:
1. Menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang memerintahkan secara rahasia.
2. Menyelisihi atsar salafus shaleh dan manhajnya seperti Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa, dan yang lainnya.
3. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam: ”Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” Riwayat Tirmidzi.
Berkata Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah: “Jika membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara terang-terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang Allah telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati secara rahasia- bagi siapa yang sanggup menasehati mereka dari para ulama yang dekat dengan mereka.”(66)
Dan berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah: : “Jika terjadi kemungkaran dari seorang pemimpin atau yang lainnya, maka hendaklah dinasehati dengan lembut dan rahasia , dan tidak diketahui oleh seorangpun, jika dia menerima maka itulah yang dikehendaki, namun jika tidak maka dia mencari bantuan orang lain yang bisa menerima (nasehatnya) secara rahasia, namun jika dia tidak melakukan dan memungkinkan mengingkarinya secara terang-terangan kecuali bila terhadap seorang pemimpin, dia telah menasehatinya dan tidak diterima dan mencari bantuan yang lain pun tidak diterima, maka hendaklah dia mengangkat masalah itu kepada kami secara tersembunyi.”(67)

Bentuk ketiga: menasehati penguasadengan cara rahasia, lalu dia menyebarkannya.
Cara seperti ini diharamkan berdasarkan hal-hal berikut:
1. menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm, sebab maksud dan tujuannya adalah agar manusia tidak mengetahuinya yang dapat menimbulkan kerusakan.
2. menyelisihi petunjuk salaf dalam menyikapi penguasa.
3. dapat menimbulkan riya’ dan tanda menunjukkan ketidak ikhlasan dalam melakukannya.
4. dapat menimbulkan fitnah, kekacauan, dan perpecahan dari jama’ah.
5. menghinakan penguasa, dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
“Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi, maka Allah akan menghinakannya.”
Berkata Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz bin Utsaimin rahimahullah:
“Jika membicarakan seorang raja tanpa kehadirannya, atau menasehatinya secara terang- terangan dan memasyhurkannya termasuk menghinakannya yang Allah telah mengancam pelakunya dengan kehinaan, maka tidak diragukan lagi bahwa wajib menjaga apa yang telah kami sebutkan -yaitu menasehati secara rahasia-“
Berkata Syaikh As-Sa’di rahimahullah:
“Berhati-hatilah wahai pemberi nasehat kepada mereka cara yang terpuji ini –yaitu dengan lembut dan halus- untuk kamu tidak merusak nasehatmu dengan mengharapkan pujian dimata manusia, lalu kamu mengatakan kepadanya: sesungguhnya aku telah menasehati mereka dan aku mengatakan begini dan begitu, karena sesungguhnya ini merupakan tanda riya’ dan alamat kelemahan ikhlas, dan dapat menyebabkan kemudaratan lainnya sebagaimana yang telah diketahui.”(68)

Bentuk keempat: menasehati penguasa tanpa kehadirannya diberbagai majelis dan nasehat serta khutbah, dan semisalnya
Maka cara seperti inipun diharamkan berdasarkan beberapa hal berikut ini:
1. Karena ini termasuk ghibah dan kebohongan terhadap penguasa.Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(QS.Alhujurat:12)
Maka Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shahihnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda : 
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ؟قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ”
“Tahukah kalian apa itu ghibah? Mereka menjawab: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Yaitu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya”. Lalu ada yang bertanya: “Bagaimana jika pada saudaraku itu benar-benar seperti yang aku katakan?” Beliau menjawab: ” Jika benar apa yang kamu katakan maka sungguh engkau telah mengghibahinya, dan jika tidak benar perkataanmu maka sungguh engkau telah menuduhnya (dengan dengan bohong).”
Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya melarang dari ghibah, dan tidaklah diragukan bahwa membicarakan penguasa termasuk diantara ghibah tanpa kehadirannya, walaupun yang dibicarakan adalah benar, dan kalau dusta maka termasuk buhtan (kebohongan).
2. Dan bentuk seperti ini juga termasuk ke dalam adu domba diantara manusia yang dapat menimbulkan fitnah dan kekacauan, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abdullah bin Mas’ud berkata: sesungguhnya Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ ؟ هِيَ النَّمِيمَةُ : الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ “
“Maukah aku kabarkan kepada kalian apa itu adhah? Yaitu namimah, menyebarkan adu domba diantara manusia.”
3. Dan karena hal itu menyelisihi hadits ‘Iyyadh bin Ghunm tentang wajibnya menasehati secara rahasia.
4. Dan juga menyelisihi petunjuk salaf soleh tentang cara menasehati penguasa.
5. Dan juga termasuk merendahkan penguasa dan ini diharamkan.
6. Dan juga dapat menyebabkan terjadinya pertumpahan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam “at-thobaqot” dari Abdullah bin Ukaim Al-Juhani bahwa dia berkata: “Aku tidak akan membantu untuk menumpahkan darah seorang khalifah setelah Utsman selama-lamanya!!” Lalu ada yang bertanya kepadanya: ”Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau turut membantu atas tertumpahnya darah beliau?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku menganggap bahwa menyebut kesalahan-kesalahannya termasuk membantu tertumpahnya darah!”
Perhatikanlah atsar ini, dimana beliau menganggap bahwa menyebut kesalahan-kesalahan penguasa termasuk diantara faktor pendukung atas tertumpahnya darah.(69)
Berkata para Imam Dakwah: apa yang dilakukan oleh sebagian penguasa berupa kemaksiatan dan penyimpangan yang tidak menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati mereka dengan cara yang syar’i dengan lembut, dan mengikuti cara yang telah diamalkan salafus shaleh dengan tidak menjelekkan mereka di berbagai majelis dan perkumpulan manusia, lalu meyakini bahwa hal tersebut termasuk diantara mengingkari kemungkaran yang wajib diingkari atas setiap hamba. Ini adalah kesalahan yang besar dan kejahilan yang nampak, pelakunya tidak mengetahui akibatnya yang akan terjadi berupa kerusakan yang besar dalam agama dan dunia, sebagaimana telah diketahui hal tersebut oleh orang yang Allah terangi hatinya dan mengetahui metode salafus shaleh dan para pemimpin agama.”(70)
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Sebagian orang ada yang kebiasaannya disetiap majelis yang dibentuknya, selalu membicarakan para penguasa dan menodai kehormatan mereka, menyebarkan kekeliruan dan kesalahan mereka, lalu mengenyampingkan apa yang mereka miliki dari kebaikan atau kebenaran, dan tidaklah diragukan bahwa menempuh cara seperti ini dan menodai kehormatan para penguasa, tidak akan menambah permasalahan kecuali semakin parah, sebab itu tidak akan menyelesaikan problem dan tidak akan mengangkat kedzaliman, namun hanya semakin menambah musibah diatas musibah, dan mengakibatkan kebencian terhadap para penguasa dan tidak melaksanakan perintah-perintahnya yang wajib ditaati.”(71)
Berkata Syaikh Bin Baaz rahimahullah: “Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan aibnya para penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, sebab hal tersebut dapat menjurus kepada gejolak dan tidak mendengar dan taat dalam perkara ma’ruf, dan menjurus kepada pemberontakan yang memudharatkan dan tidak mendatangkan manfaat.”(72)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin: ”Aku memintamu atas nama Allah untuk memahami manhaj salaf shaleh dalam menyikapi penguasa, dan jangan dia menjadikan kesalahan-kesalahan penguasa sebagai sarana untuk membangkitkan amarah umat, dan menimbulkan kebencian terhadap para penguasa. Dan ini inti kerusakan dan salah satu pondasi yang menimbulkan fitnah di kalangan manusia, sebagaimana pula memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap penguasa dapat menimbulkan kejahatan, fitnah, kekacauan. Demikian pula memenuhi hati dengan penuh kebencian terhadap para ulama akan menyebabkan diremehkannya kedudukan mereka, yang kemudian berakibat diremehkannya syariat yang mereka emban, maka jika seseorang berupaya untuk mengecilkan sikap segannya terhadap para ulama dan penguasa, maka syariat dan keamanan akan menjadi lenyap , sebab ketika ulama tersebut berbicara, maka mereka tidak lagi percaya dengan ucapannya, dan jika para penguasa angkat bicara, maka merekapun membangkang dari ucapan mereka, sehingga terjadilah kejahatan dan kerusakan.
Maka wajib kita perhatikan, apa yang telah ditempuh oleh salafus shaleh dalam menghadapi penguasa, dan hendaklan seseorang mengatur dirinya dan mengetahui akibatnya.
Dan ketahuilah bahwa orang yang membangkitkan gejolak, hanyalah membantu musuh-musuh Islam. Maka menimbulkan gejolak dan sikap membantah bukanlah menjadi ukuran, namun yang menjadi ukuran adalah sikap hikmah.
Dan bukanlah saya memaksudkan dengan sikap hikmah adalah diam dari kesalahan, akan tetapi dalam hal mengobati kesalahan tersebut untuk kita semakin memperbaiki kondisi, bukan untuk merubah kondisi (menjadi semakin runyam,pen). Maka seorang penasehat adalah orang yang memperbaiki kondisi dan bukan merubah kondisi.”(73)

SYUBHAT ORANG YANG MEMBOLEHKAN MENGERITIK PENGUASA TANPA KEHADIRANNYA BESERTA BANTAHANNYA

Sebagian orang ada yang mengeritik penguasa tanpa kehadirannya, jika engkau katakan kepadanya bahwa ini tidak boleh, maka dia berdalil dengan apa yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi Shalallahu’alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sesungguhnya diantara jihad yang paling agung adalah mengucapkan kebenaran disisi penguasa yang dzalim”.(74)
Lalu dia berkata: ini adalah kalimat kebenaran.
Tidaklah diragukan bahwa hal ini merupakan kesalahan fatal, berdasarkan beberapa hal berikut:
Pertama: hadits ini menyebutkan: “di sisi” yaitu dihadapan penguasa dan dengan kehadirannya , dan bukan dibelakangnya.
Kedua: bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah engkau mengingkarinya secara terang-terangan atau tanpa kehadirannya, bahkan hadits ini wajib difahami sejalan dengan hadits ‘Iyyadh bin Ghunm yang mewajibkan secara rahasia, maka kita menyatakan: kamu menasehatinya sendirian, bukan dengan terang-terangan atau tanpa kehadirannya.
Ketiga: sabdanya mengatakan “di sisi penguasa yang dzalim” , dan kita Walhamdulillah –di kerajaaan arab saudi- dibawah naungan penguasa yang adil yang beramal dengan Al-qur’an dan Sunnah diatas pemahaman salafus shaleh, menyeru kepada tauhid dan memerangi bid’ah dan khurofat.

Berkata Syekh Ibnu Utsaimin: ”Aku bersaksi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
terhadap apa yang aku katakan,dan aku mempersaksikannya kepada kalian pula bahwa aku tidak mengetahui dimuka bumi pada hari ini ada yang menerapkan syariat Allah seperti apa yang diterapkan di negeri ini, yang aku maksudkan adalah kerajaan arab saudi. Dan tidaklah diragukan bahwa ini termasuk diantara kenikmatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita. Maka hendaklah kita senantiasa menjaga atas apa yang telah kita rasakan pada hari ini, bahkan kita selalu berusaha menambah pengamalan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih dari apa yang telah kita rasakan pada hari ini. Sebab aku tidaklah menganggap telah sempurna dan telah berada di puncak kesempurnaan dalam hal penerapan syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak diragukan bahwa kami banyak melalaikan darinya, namun kami lebih baik Walhamdulillah dari apa yang kami ketahui dari negeri-negeri lainnya…….
Sesungguhnya kita berada di negeri ini hidup dalam kenikmatan setelah kefakiran, keamanan setelah rasa takut, keilmuan setelah kejahilan, kemuliaan setelah kehinaan, dengan keutamaan berpegang teguh terhadap agama ini, yang menyebabkan sakitnya hati orang-orang yang dengki dan mengganggu peristirahatan mereka, mereka berangan-angan hilangnya kenikmatan yang kita rasakan sekarang, dan sangat disayangkan sekali mereka menemukan diantara kita ada yang menggunakannya, ada yang memanfaatkannya untuk menghancurkan bangunan yang kokoh ini dengan cara menyebarkan kebatilan mereka, dan menganggap baik kejahatan yang mereka sebarkan dikalangan manusia,

“mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri” (QS.Al-Hasyr:2)
Sungguh aku heran tatkala disebutkan kepadaku bahwa ada salah seorang yang jahil –semoga Allah memberi hidayah kepadanya dan mengembalikannya kepada kebenaran- menyebarkan berbagai selebaran yang berasal dari luar negeri yang tidak terlepas dari tipu muslihat dan dusta, lalu meminta agar disebarkan kepada sebagian para pemuda, lalu memberi semangat kepada mereka agar mengharapkan pahalanya dari Allah. Subhanallah, apakah pemahaman mereka sudah terbalik? Apakah mungkin keridhoan Allah dapat ditempuh melalui kemaksiatan kepada- Nya? Apakah mendekatkan diri kepada Allah dapat dilakukan dengan cara menyebarkan fitnah dan menanamkan perpecahan di kalangan kaum muslimin terhadap penguasa mereka? Aku berlindung diri kepada Allah untuk menjadi seperti mereka.(75)

Sebagai penutup: saya akan menyebutkan kalimat yang sangat penting dari Syaikh Shaleh Alus syaikh seputar kesalahan yang dilakukan kebanyakan dari para pemuda tatkala terjadi sebuah problem yang disebabkan kejahilannya terhadap manhaj salafus shaleh:
“Wahai muslim, jangan engkau menerapkan hadits-hadits tentang fitnah kepada kondisi yang sedang engkau hadapi, sebab sebagian orang merasa nyaman disaat muncul fitnah untuk meneliti kembali hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hal fitnah dan sering membicarakannya diberbagai majelis: bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم demikian, inilah waktunya, inilah fitnah! Dan yang semisalnya.
Ulama salaf mengajari kita bahwa hadits-hadits tentang fitnah tidak boleh diterapkan pada kondisi saat ini, namun akan nampak kebenaran ucapan Nabi صلى الله عليه وسلم terhadap apa yang beliau kabarkan dari terjadinya fitnah setelah ia terjadi dan berlalu, yang disertai sikap waspada dari fitnah secara keseluruhan. Penerapan terhadap hadits-hadits fitnah ini kepada kondisi yang sedang terjadi dan menyebarkannya dikalangan kaum muslimin bukanlah dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, namun ahlus sunnah wal jama’ah menyebutkan fitnah dan hadits-hadits fitnah untuk memberi peringatan darinya dan menjauhkan kaum muslimin dari keterlenaan atau dari mendekatinya, agar kaum muslimin tersebut tidak tertimpa fitnah, dan agar agar mereka meyakini kebenaran apa yang telah dikabarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم .(76)
Inilah akhir dari apa yang ingin saya sebutkan dalam risalah yang singkat ini, dan hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala aku memohon agar memberi manfaat kepada kaum muslimin. Dan segala puji bagi Allah yang Maha Awal (yang tidak ada sebelumnya sesuatu) dan Maha Akhir (yang tidak ada setelahnya sesuatu) dan yang maha Zhahir (tidak ada diatasnya sesuatu) dan maha batin ( yang tidak tersembunyi dari sesuatu apapun), shalawat dan salam kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم , keluarganya, para shahabatnya Radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in

———————————–
53 Al-mu’amalah: 87
54 Dishohihkan Al-Albani dalam ash-shohihah:1/404. (penterjemah)
55 Fadhilatul ‘adilin:140
56 Dishohihkan Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab As-sunnah,karangan Ibnu Abi Ashim,no:1096,dan 1097
57 Syarah muslim:18/160
58 Dan terhadap hal ini difahami perbuatan salaf ,seperti kisah Abu Sa’id al-Khudri bersama Marwan gubernur Madinah,tatkala dia menudahulukan khutbah dari sholat ‘ied.lihat shohih Bukhari (2/449,no:956,kitab al-iedain,bab: al-khuruj ilal musholla bighoiri mimbar,bersama al- fath).
59 Al-ma’lum:23,dan kitab: al’mu’amalah:44.
60 Maksudnya adalah taat kepada penguasa yang mayoritas masyarakatnya berlindung di bawah kekuasaannya.
61 Tanbih al-ghafilin: 64
62 As-sailul jarror: 4/556
63 Nasihah muhimmah: 30
64 Ar-riyadh an-nadhiroh:50
65 Al-ma’lum:22
66 Maqoshid al-Islam: 393.
67 Nasihah muhimmah:33
68 Ar-riyadh an-nadhiroh :50
69 Ini memberi faedah bahwa pemberontakan bisa dilakukan dengan pedang juga dengan lisan,berbeda dengan apa yang dikatakan oleh seseorang : bahwa memberontak tidak dilakukan kecuali dengan pedang. Perhatikanlah hal ini,dan cermatlah dengan baik!
70 Nasihah muhimmah: 30
71 Wujub taatis sulthan,karya Al-Uraini: 23-24
72 Al-ma’lum:22,al-mu’amalah:43
73 Al-mu’amalah: 32
74 Dishohihkan Al-Albani dalam as-shohihah: 1/491. (penterjemah)
75 Wujub tho’at as-sulthan,karya al-Uraini:49.
76 Ad-dhawabit asy-syar’iyyah li mauqif al-muslim fil fitan:52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar