Pengertian
Psikologi Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia
di dalam dunia pendidikan yang meliputi studi sistematis tentang
proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia yang
tujuannya untuk mengembangkan dan meningkatkan keefisien di dalam pendidikan.
karena dalam
pengertian ini mencerminkan psikologi sebagai disiplin ilmu yang mandiri yang
terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, focus kajian
psikologi tidak lagi hakekat jiwa,
melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melalui penelaahan perilaku
organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara
empirik hakekat jiwa tersebut tidak
dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahas mengenai proses,
fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya darikalangan
Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa.
Merekabahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang.
Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus
pada jiwa tersebut agar ia mampu meresponsnya dalam bentuk perilaku.Pengertian
psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian
pertama.Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih:
PERTAMA,Psikologi
Islam sebagai disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan
yang digunakan lebih mengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan
hakekat mental dan kehidupannya.Sumber data yang digunakan berasal dari proses
deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an danal-Sunnah) dan hasil pemikiran
para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki
wilayahempiris-eksperimental;
KEDUA,Psikologi
Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalamidistorsi yang
fundamental. Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa,
namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa,
sehingga ia mempelajariilmu jiwa tanpa konsep jiwa.
KETIGA,karena
alasan ke dua di atas, psikologi kontemporermempelajari manusia yang tidak
berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengangejala kejiwaan hewan,
sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untukmemahami perilaku
manusia.
Atas dasar
ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderungmenggunakan pengertian pertama.
Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertian psikologi yang
lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam
memilihmodel pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang,
barangkali PsikologiIslam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah
kerangka konseptualnya telahmapan dan diakui secara objektif dalam
perbendaharaan Psikologi kontemporer. Psikologi secara etimologi memiliki arti ilmu tentang jiwa. Dalam
Islam, istilah jiwa dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan
dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya
daripada istilah al-nafs.Psikologi dapat diterjamahkanke dalam bahasa Arab
menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh.Penggunaan masing-masing keduaistilah ini
memiliki asumsi yang berbeda.Istilah Ilm al-Nafs banyak dipakai dalam literatur
Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartonolebih khusus menyebutnya dengan
Nafsiologi. Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajianpsikologi Islam
adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak
dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer
Barat, sebabal-nafs merupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi
ruhani, sedangkan soul atau psychehanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini,
penggunaan term al-nafsdalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin
ajaran Islam, sebab tidak ada satupunnash yang melarang untuk membahasnya.
Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilahal-ruhyang secara jelas
dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).Penggunaan
istilahIlm al-Ruhditemukan dalam karya psikolog Zuardin Azzaino. Istilah
itukemudian dijadikan dasar untuk membangun Psikologi Ilahiah, yaitu psikologi
yang dibangun darikerangka konseptualal-ruhyang berasal dari Tuhan. Boleh jadi
Azzaino tidak mengikutiperkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur
yang digunakan dalam bukunya tidaksatupun yang bersumber dariIlm al-Nafs fi
al-Islam(Psikologi Islam). Tetapi yang menarik daritawaran Azzaino tersebut
adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memilikiciri unik,
yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian
PsikologiIslam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan
objek kajian PsikologiKontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris).
Karena perbedaan yang mendasar inilahmaka Azzaino terpaksa menggunakan term
khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.Menanggapi kedua polemik ini,
penulis lebih cenderung menggunakan istilah Ilm al-Nafs. Selainistilah itu
lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara
ideologispembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja
yang patutdipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam
kini nyaris masuk dalamliang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu
nampaknya dapat ditangkap dengan cermatoleh Azzaino, sehingga ia mencoba
mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian,kebolehan menggunakan
istilah Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofisPsikologi
Islam.Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:kajian Islam
yang berhubungandengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara
sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hakekat definisi tersebut
mengandung tiga unsur pokok;Pertama,bahwa psikologi Islam
merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang
samadengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam,Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata Islam di sini memiliki arti corak, carapandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak ataumemilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapatmembentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer padaumumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi(bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melaluikerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti PsikopatologiIslam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi SosialIslam, dan sebagainya.Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupaal-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad,al-sirr, al-fithrah,dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme,proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Quran, al-Sunnah, serta dari khazanahpemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apahakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensialyang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar )-nya.Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusiauntuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasantersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakandemikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agarmampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuhdan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplinyang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsepdiri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri ataudiri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilakumaka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasailahiyah, agar dapatmengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaanhidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakandiri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan,kegersangan, dan kegelisahan.Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakantelah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiahadalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitassuatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri.Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jikaorang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, sertamengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yangsama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanyaberijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal inimenunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktekkedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di antara metode dan teknik yangdikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yangsudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadandilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus-diskursus lain.Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikutiaturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka terujisecara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untukmengintip wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa PsikologiBarat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomenakejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalumereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulissatu bab khusus untuk Psikologi Timur. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya daripsikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi(pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakandimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses danperkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk),proses penyucian jiwa(tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dansebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.Frank. J. Bruno,Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dollard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dariPsiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yangmenetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapatmengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulusyang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, CalvinHall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik,diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat!Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi (1986) karya SukantoMulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judulNafsiologi;Sebuah Kajian Analitik (1995); (2)Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islmiy (1979) karya Hasan Muhammadal-Syarqawiy; (3)Ilm al-Nafs al-Mashir fi Dhaw’i al-Islm(1983) karya Muhammad MahmudMahmud; (4)Ilm al-Nafs al-Islamiy (1989) karya Maruf Zarif; dan (5)al-Quran wa Ilm al-Nafs(1982) karya Muhammad Usman Najati. Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangkafilosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerirmasalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkanpengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkanmasalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak adasalahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidakmenerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agamadinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktural-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakanbentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freuddan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalamIslam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dariTuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidakmempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi.Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidakada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dandinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis),terj. Yustinus, judulasli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21
Di antaranya: (1) Shafii,Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy,(1985); (2) Hoesen Nasr (ed.),Islamic Spirituality: Foundation,(1989); dan (3) Ronald AlanNicholson,Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi,terj. Abu al-ala al-Afifi (1969).Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis),terj.Yustinus, judul asli, Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222
merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang
samadengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam,Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata Islam di sini memiliki arti corak, carapandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak ataumemilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapatmembentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer padaumumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi(bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melaluikerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti PsikopatologiIslam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi SosialIslam, dan sebagainya.Kedua, bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupaal-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad,al-sirr, al-fithrah,dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme,proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Quran, al-Sunnah, serta dari khazanahpemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apahakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensialyang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar )-nya.Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusiauntuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasantersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.Ketiga, bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakandemikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agarmampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuhdan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplinyang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsepdiri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri ataudiri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilakumaka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasailahiyah, agar dapatmengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaanhidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakandiri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan,kegersangan, dan kegelisahan.Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakantelah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf pseudo-ilmiahadalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitassuatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri.Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jikaorang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, sertamengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yangsama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanyaberijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal inimenunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktekkedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di antara metode dan teknik yangdikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yangsudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadandilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus-diskursus lain.Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikutiaturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka terujisecara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui sebagai disiplin yang objektif.Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untukmengintip wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa PsikologiBarat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomenakejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalumereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulissatu bab khusus untuk Psikologi Timur. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya daripsikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi(pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakandimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses danperkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk),proses penyucian jiwa(tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dansebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.Frank. J. Bruno,Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dollard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dariPsiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yangmenetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapatmengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulusyang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, CalvinHall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik,diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat!Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi (1986) karya SukantoMulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judulNafsiologi;Sebuah Kajian Analitik (1995); (2)Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islmiy (1979) karya Hasan Muhammadal-Syarqawiy; (3)Ilm al-Nafs al-Mashir fi Dhaw’i al-Islm(1983) karya Muhammad MahmudMahmud; (4)Ilm al-Nafs al-Islamiy (1989) karya Maruf Zarif; dan (5)al-Quran wa Ilm al-Nafs(1982) karya Muhammad Usman Najati. Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangkafilosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerirmasalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkanpengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkanmasalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak adasalahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidakmenerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agamadinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktural-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakanbentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freuddan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalamIslam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dariTuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidakmempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi.Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidakada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dandinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis),terj. Yustinus, judulasli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21
Di antaranya: (1) Shafii,Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy,(1985); (2) Hoesen Nasr (ed.),Islamic Spirituality: Foundation,(1989); dan (3) Ronald AlanNicholson,Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi,terj. Abu al-ala al-Afifi (1969).Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis),terj.Yustinus, judul asli, Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar