Jumat, 30 Maret 2012

FIQIH, MAKALAH MUDHARABAH (Kerjasama Bagi Hasil)



DAFTAR ISI
I.                   KATA PENGANTAR...................................................................................2
II.                DAFTAR ISI..................................................................................................3
III.             MUDHARABAH...........................................................................................4
1.      Pengertian............................................................................................4
2.      Hukum Mudharabah............................................................................4
3.      Rukun dan Syarat Mudharabah...........................................................5
4.      Macam-macam Mudharabah...............................................................7
IV.             MUSAQOH....................................................................................................7
1.      Pengertian dan Dasar Hukum..............................................................7
2.      Rukun dan Syarat Musaqoh.................................................................8
3.      Hukum-hukum yang Terkait Dengan Al-Musaqoh..............................9
4.      Berakhirnya Akad Musaqoh................................................................10
V.                MUSYARAKAH............................................................................................11
1.      Pengertian.............................................................................................11
2.      Dasar Hukum........................................................................................12
3.      Macam-macam Musyarakah.................................................................12
4.      Syarat-syarat Musyarakah.....................................................................14
5.      Rukun-rukun Musyarakah.....................................................................14
VI.             MUZARA’AH.................................................................................................15
1.      Pengertian..............................................................................................15
2.      Hukum Muzara’ah.................................................................................16
3.      Rukun-rukun Muzara’ah........................................................................16
4.      Syarat – syarat Muzara’ah......................................................................16
5.      Akibat Akad Muzara’ah.........................................................................17
VII.          DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18






MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil )
I.              Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
 أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.

II.           Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…


Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
   Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
   Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
   Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

III.        Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.      Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.      Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3.      Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.      Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.




IV.        Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
  1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
  2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
  3. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.

MUSAQOH
I.              Pengertian dan Dasar Hukum
Secara sederhana musaqoh diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan bagian ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak boleh karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah pasti sesuai dengan perjanjian.
II.           Rukun dan syarat musaqoh
Ulama hanafiah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqoh adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qobul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
  1. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
  2. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
  3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
  4. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
  5. Shigat (ungkapan) ijab dan qabul

Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
  1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
  2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam menentukan obyek al-musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama hanafiyah yang boleh menjadi obyek al-musaqah adalahpepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Namun menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah menyatakan objek al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur; dengan syarat bahwa: (a) akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah layak panen, (b) tenggang waktu yang ditenyukan jelas, (c) akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh, (d) pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu. Menurut ulama Hanabilah, objek al-musaqah adalah pada tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan yang boleh menjadi objek al-musaqah adalah hanya kurma dan anggur saja, seperti yang dikatakan oleh sabda Rasulullah saw, yang mengatakan: ”Rasulullah menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketenyuan sebagian dari hasilnya, baik dari buah-buahan ataupun biji-bijianmenjadi milik orang Yahudi itu.
  3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
  4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut pendapat al-Syafi’i yang terkuat sah melakukan perjajian musaqah pada kebun yang telah berbuah, tapi buahnya belum dapat dipastikan baik (belum matang).
  5. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian. Namun menurut Hanafiyah, penetapan jangka waktu bukanlah suatu keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai satu cara terbaik. Sejalan dengan ulama Hanafiyah, Daud az-Zahiri berpendapat bahwa penetapan waktu bukan suatu syarat dan hal itu diserahkan kepada kebiasaan setempat.
III.        Hukum-hukum yang Terkait Dengan al-Musaqah
      Hukum-hukum yang berkaitan dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:
  1. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dann segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
  2. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (petani dan pemilik).
  3. Jika kebun itu tidak menghasilkan apa-apa, maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
  4. Akad al-musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada halangan yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
  5. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas izin dari pemilik perkebuan pertama.

Akad al-musaqah bisa fasid apabila:
  1. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi pemilik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
  2. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen salah satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau bagian petani dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam panen tidak ada lagi.
  3. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu.
  4. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap karena dalam akad al-musaqah pekerjaan sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan memulai tanam.
  5. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani dan pemilik.
  6. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu.
Jika akad al-musaqah fasid maka akibat hukumnya adalah:
  1. Petani penggarap tidak boleh dipaksa bekerja dikebun itu
  2. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tapi ia hanya berhak mendapatkan upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
IV.        Berakhirnya Akad al-Musaqah
Menurut ulama fiqh, akad al-musaqah berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad habis,
b.      Salah satu pihak meninggal dunia,
c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak dapat meneruskan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini diantaranya apabila petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani itu yang wafat maka akli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum panen. Sedangkan apabila pemilik perkebunan yang waafat maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, maka ahli waris kedua belah pihak boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.
   Akan tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad al-musaqah adalah akad yang boleh diawarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan karena uzur. Apabila petani memounyai uzur maka harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad al-musaqah adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu salah satu pihak boleh membatalkan akad tersebut. Jika pembatalan akad dilaksanakan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang ada.

MUSYARAKAH ( Syirkah )
I.              Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
إ ذ ن فى الصرف لهما مع أ نفسهما فى مال لهما
Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
ثبو ت الحق فى شيئ لإ ثنين فأ كثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Pada dasarnya definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
II.           Dasar hukum asy-syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
و إن كثيرا من الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إلا اﻟﺫ ين امنوا وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم...
 ...sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang beriman dan mengerjakan amal – amal saleh; dan amat sedikit mereka ini...
Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.
III.        Macam – macam asy-Syirkah
Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak ( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan berdasarkan suatu akad ).
1.      Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam kategori ini, selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, awakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.      Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
    Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.      Syirkah al-Uquq
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke dalam syirkah al-‘uquq.
Ulama Hanabilah membaginya ke dalam lima bentuk, yaitu :
a.       Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya ).
b.      Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungannya dibagi rata ).
c.       Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama ).
d.      Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
e.       Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)
Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat bentuk :
a.       Syirkah al-‘inan.
b.      Syirkah al-mufawadhah.
c.       Syirkah al-abdan.
d.      Syirkah al-wujuh.
Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :
a.       Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).
b.      Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).
c.       Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
IV.        Syarat – syarat asy-syirkah
Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uquq mempunyai syarat – syarat umum, yaitu:
a.       Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain. Dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
b.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing – masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
c.       Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
V.           Rukun – rukun Musyarakah
a.       Para pihak yang bersyirkah.
b.      Porsi kerjasama.
c.       Proyek/usaha ( masyru’ ).
d.      Ijab qabul ( sighat ).
e.       Nisbah bagi hasil.
Pada bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud hal-hal berikut ini.
1.      Pembiayaan proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
2.      Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
MUZARA’AH atau MUKHABARAH
I.              Pengertian
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:
د فع الأرض إلى من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”  Penduduk Irak menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

II.           Hukum Akad al-muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المهخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).
III.        Rukun al-Muzara’ah
Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a.       Pemilik tanah.
b.      Petani penggarap.
c.       Obyek al-muzara’ah.
d.      Ijab dan qabul.
IV.        Syarat-syarat al-Muzara’ah
Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b.      Batas-batas tanah itu jelas.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:
a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.
b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.
V.           Akibat akad al-Muzara’ah
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c.       Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.


DAFTAR PUSTAKA
Latif Azharudin. 2005. Fiqh Muamalat. UIN Jakarta Press: Jakarta.
Haroen Nasrun . 2000. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama: Jakarta.
Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Ghayarni. 2004. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Pustaka Progressif: Surabaya.
Rodoni Ahmad, Hamid Abdul. 2008. Lembaga Keuangan Syariah. Zikrul Hakim: Jakarta.
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Raja Grafindo: Jakarta.
Ali Sakti. 2007. Ekonomi Islam. Aqsa Publishing: Jakarta.
Shalah ash Shawi. Abdullah al-Mushlih. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta.
H Ibrahim Lubis. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Kalam Mulia: Jakarta.
Ahmad M Saepudin. 1987. Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif IslamI. Rajawali Pers: Jakarta.
Suhendi Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Grafindo: Jakarta
Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Asas-asas Hukum Muamalah. Uii Press: Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar