Jumat, 30 Maret 2012

DEFINISI IJTIHAD


A.   Definisi Ijtihad

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang
Dalam al-quran disebutkan:

“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang   berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
B. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a.  Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut.  Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan  ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d.  Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

C. Syarat Mujtahid yang Menggali Hukum ( Mustanbith )
1.       Menguasai Bahasa Arab

        Ulama Ushul fiqih telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa arab, karena Al-Quran diturunkan sebagai sumber syariat dalam bahasa arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari  Al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayyad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman. kriteria yang jadi persyaratan seperti itu tidak dapat dipenuhi kecuali oleh seseorang yang tingkat kemampuan berbahasa Arabnya sudah sampai pada derajat ijtihad.
       Dan mencakup juga seorang mujtahid itu harus luas dan mendalam penguasaannya dalam ilmu bahasa sehingga sampai tingkat ijtihad, yang menyamai tingkat pemahaman orang Arab sendiri.
Seorang mujtahid jangan sampai tidak mengetahui rahasia-rahasia bahasa Arab secara umum, karena hokum-hukum yang menjadi garapan penggaliannya itu tersimpan dalam sebuah kitab yang paling sempurna bahasanya dan paling tinggi balaghahnya (satranya). Karena itu orang yang akan menggali hokum harus menguasai rahasia balaghah yang tinggi .

Imam Syatibi membuat klasifikasi orang yang menggali hokum sebagai berikut:

1.      Seseorang yang dalam tingkat pemula disebut mubtadi’ dalam bahasa Arab dan dalam bidang syariah
2.      Orang yang menengah atau mutawassith
3.      Orang yang sudah sampai tingkat puncak  disebut Nihayah
Pemahaman orang demikian bisa dijadikan hujjah, sebagaimana pemahaman para sahabat dan para ahli bahasa terhadap Al-Quran.
2.      Mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam al-Quran
         Syarat ini telah ditentukan oleh Iman Syafi’I dalam kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia juga mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiyamat. Bahwa seseorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membalas tentang hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. Demikian juga ia harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Qur’an itu terdapat ayat-ayat menasakh dan yang dinasakh. Karena al-Quran merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asnawi ;
‘’ Sesungguhnya untuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat lainnya harus mengerti keseluhaannya. Menurut Imam Syafi’I ,bahwa seorang mujtahid itu disyaratkan hafal al-Quran di luar kepala secara keseluruhan dan menguasai segala isi yang di kandungnya.
3.      Mengerti Sunnah (Hadits)
Seorang Mujtahid harus mengerti betul tentang Sunnah, baik Qauliyah (perkataan),Fi’liyah(perbuatan),dan Taqririyah(ketetapan).minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa  itu bisa dibagi pembidangannya.Seorang  mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum Taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadist dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadist.Mujtahid juga harus mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam Sunnah ‘am dan Khasnya, Muthlaq dan, Muqayyadahnya, takhsis dari yang umum.Mujtahid tidak disyaratkan harus hafal hadist-hadist yang berhubungan dengan hukum,tetapi cukuplah dengan mengetahui tempat dan cara mendapatkan dengan cepat dan tepat.Disamping itu ia harus mengerti tentang perawi dan riwayat hidupnya walau secara umum.
4.      Mengerti letak ijma dan khilaf
     Syarat yang inipun telah disepakati para ulama. Letak ijma’ yang tidak diragukan lagi terjadinya dan harus dimengerti oleh para mujtahid adalah masalah dasar (pokok) faraidh. Banyak khabar yang mutawatir yang menumjukan adanya ijma. Begitu juga tentang masalah waris, serta masalah-masalah wanita yang diharamkan serta telah ditentukan dalam Al-Quran dan Hadist.
Yang dimaksud dengan memelihara semua letak ijma itu bukanlah menjadikannya sebagai pegangan yang selalu dimenangkan dalam semua situasi, tapi untuk mengetahui seluruh masalah yang telah menjadi ijma’ kalau memang ada’ atau terjadi khilafiyah (tergolong ikhtilaf). Seorang mujtahid diharuskan mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) terjadi diantara para fuqaha. 
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa manusia yang diangap paling mengerti ialah manusia yang paling mengetahui pendapat-pendapat antar manusia. Apabila terjadi suatu perbedaan terhadap masalah, maka akan dating cahaya kebenaran diantara pendapat-pendapat yang berbeda tersebut.
Imam Syafii mengharuskan mujtahid mengetahui pendapat orang yang berbeda dengannya agar di satu pihak ia tidak lupa terhadap dirinya dipihak lain lebih kokoh dalm meyakini pendapatnya bila tidak ada pendapat lain yang menyanggahnya.
Memperdalam dan mempelajari perbedaan pendapat diantara para fuqaha sampai tuntas, akhirnya mampu membuat dan meletakkan kaidah dasar dalam fiqih yang disebut ushul fiqih.
5.      Mengetahui Qiyas
Imam Syafii mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas.  Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui perihal qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid itu memilih hokum asal yang lebih dekat dengan objek.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid ada 3 :
1.      Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hokum asal beserta illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hokum furu (cabang)
2.      Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidpak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar qiyas dan factor yang menghubungkan dengan furu.
3.      Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salaf yang shaleh dalam mengetahui illat-illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya yang mu’tabar, karena hal ini menjadi kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarnya sampai pada hukum-hukum yang rinci.
6.      Mengetahui maksud-maksud hukum
Telah kita ketahui bahwa hukum dalam syariat Islam itu dimaksudkan dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin).
Dalam Islam haruslah mampu memelihara kemaslahatan umat manusia yang mencakup tiga tingkatan :
a.      Dharurriyat (pasti)
b.      Hajjiyat (kebutuhan)
c.       Tahsinat (pelengkap)
Menurut Asy-Syatibi dasar ijtihad itu ada dua:
1.      Memahami tujuan syariah. Bahwa kemaslahatan dalam Islam merupakan hakikat yang inti, dengan kata lain dapat membuat tempat atau status “khalifah nabi” atau pengganti nabi untuk menyebarkan, memberi fatwa dan menetapkan hukum sesuai dengan petunjuk Allah.
2.      Kemampuan istinbath. Yaitu menguasai alat istinbath (mengetahui bahasa arab), hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran, sunnah, ijma, perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih,macam-macam qiyas.

D. Mujtahid dalam Hukum Islam (Syara’)
1.      Mujtahid Mustaqil
    Tingkatan pertama adalah tingkatan Mujtahid Mustaqil (independen,mandiri). Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Qur’an dan sunnah , melakukan qiyas mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menerapkan dalil istihsan dan berpendapat dengan dasar Saddun Dzara’i.mereka merumuskan metodologi ijtihadnya sendiri dan menerapkannya pada masalah-masalah furu’ (cabang). Meski madzhab mereka tidak terhimpun dalam ebuah karangan kitab, namun dicelah-celah kitab-kitab yang menguraikan perbedaan pendapat fuqaha sering ditemukan pendapat-pendapat mereka dinukil  dengan riwayat yang tidak diragukan kebenarannya. Ibnu Abidin sependapat dengan ulama yang menggolongkan mereka dalam tingkatan kedua, yaitu golongan mujtahid yang terikat dengan mujtahid lain dalam masalah ushul, tidak terikat dalam masalah furu’. Tegasnya, mereka tergolong Mujtahid Madzhab. Dalam hal ini, ibnu Abidin berkata; ‘’ Tingkatan Mujtahid seperti Abu Yusuf, Muhammad dan murid-murid Abu Hanafi yang lain, yang mampu mengeluarkan ketetapan-ketetapan hukum dari dalil-dalil sebagaimana telah disebutkan di muka dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang telah ditetapkan gurunya.
Di dalam kitab itu saya katakana ; ‘’ Sesungguhnya Abu Hanifah seorang ahli fiqh yang independen (mustaqil), karena meski ia mempelajari pendapat-pendapat Ibrahim, terkadang ia sependapat dengannya, namun tidak jarang ia punya pendapat berbeda. Kenyataannya ushul (prinsip-prinsip) yang dijadikan dasar istinbath oleh murid-murid tersebut. Ini artinya ushul mereka tidaklah sama persis. Adanya perbedaan ini sudah cukup untuk membuktikan sifat kemandirian yang dimiliki sang murid. Disitulah perbedaan antara muqallid dan mujtahid dan itulah yang menjadi tolok ukur.
Jika kita menelah kehidupan imam-imam tersebut, maka akan kita ketahui bahwa sesungguhnya mereka jauh dari sifat taqliq. Mereka merasa belum cukup hanya dengan ilmu yang dipelajari dari gurunya yang pertama, sehingga belajar lagi kepada ulama yang lain. Sementara Muhammad hanya berguru sebentar kepada Abu Hanafih, di awal hidupnya, kemudian melanjutkan berguru kepada Imam Malik. Periwayatannya dipandang paling sahih dari segi isnadnya. Perlu ditegaskan disini bahwa ushul (prinsip-prinsip berijtihat) dimasa Abu Hanafih, belum merupakan disiplin ilmu yang sempurna yang berdiri sendiri,
Namun demikian, terdapat sebagian ulama Madzhab Hanafy yang memperbolehkan sebagian ahli fiqihnya untuk melakukan ijtihad mutlaq. Dengan demikian, jelaslah bahwa ulama yang menutup pintu ijtihad tidak dengan tegas menutupnya secara mutlak. Dalam hal ini, Madzhab Maliky mempunyai pendapat yang tidak jauh berbeda dengan Madzhab Syafi’I dan Hanafi. Madzhab Malikiy, meskipun memperbolehkan adanya kekosongan suatu periode dari seorang mujtahid mutlak, mengharuskan agar di setiap periode tidak kosong dari mujtahid madzhab.
Sedangkan ulama Madzhab Hanbaly bersiteguh mempertahankan pendapatnya,bahwa tidak boleh suatu masa kosong dari seorang mujtahid. Dalam kaitannya ini, Ibnu Qayyim berkata; “ para mujtahid itu adalah orang-orang yang disebut oleh Nabi SAW dalam Hadits:

Artinya ; ‘’ sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini (umat Muhammad) pada setiap awal seratus tahun (satu abab) seseorang yang memperbaharui agamanya. Mereka adalah kader-kader Allah, yang terus dilahirkan secara berkeseimbang untuk membela agama-Nya. Dan, mereka inilah yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib, tidak pernah kosong bumi dari orang yang menegakkan agama Allah dengan hujjahnya.’’
Madzhab Hanbaly berpandangan bahwa pintu ijtihad untuk semua tingkatan mujtahid tetap terbuka terus. Meskipun diakui bahwa tingkat kemampuan dan kecerdasan orang berbeda-beda, namun tak seorang pun berhak mnutup pintu ijtihat. Sewaktu sang imam ghaib (menghilang) sekitar abab ke X1- ia telah berpesan kepada pengikut agar berijithad sendiri dengan berpegang pada dua hal;
a.      Tidak boleh bertentangan dengan semua far’u (hukum cabang) yang telah diriwayatkan dari imam-imam tersebut.sedapat mungkin diusahakan agar mereka mengeluarkan hukum(tahkij) berdasarkan pendapat-pendapat imam-imamnya. Jika mereka tidak mampu,maka mereka harus menerapkan hukum akal (menggunakan ratio).sebab mareka menempatkan akal sebagai hujjah setelah kitabullah, sunnah Rasullulah dan pendapat / ucapan imam-imam mereka.
b.      Harus mengikatkan diri dengan ushul imam-imam mereka. Ucapan sang imam adalah; ‘’Sunnah’’ yang harus diterima. Mereka tidak menempatkan imam-imam itu dalam kedudukan sebagaimana kedudukan imam-imam dalam madzhab-madzhab lain yang di akui secara umum seperti Imam Abu Hanafah, Syari’I, malik dan ahmad.
Jika di lihat dari sudut bahwa mereka diperintahkan untuk menggunakan logika (akal), maka pintu ijtihat yang terbuka selama sang imam ghaib adalah ijtihat mutlaq. Akan tetapi ijtihat itu tidak lebih dari sekedar tarkhrij( mengeluarkan hokum) berdasarkan pendapat-pendapat imam mereka, yaitu ja’far ash-Shadiq dan imam yang selevel dengannya.

2.     Mujtahid Muntasib 
Tingkatan kedua adalah tingkatan Mujtahid Muntasib. Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengembil/memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang (far’u). imamnya Nawawi dalam Muqaddimah Syarh al-Majmu’ mengatakan ; ‘’ Ustadz Abu Ishaq Al- Asfarayni (wafat 476 H) menganggap sifat independensi tersebut hanya dimiliki ‘ashabuna’(golongan Syafi’iyyah).
Padahal menurut qaul shahih, yang juga merupakan pendapat muhaqqiqun, adalah pendapat ashabun (ashab as Syafi’iyyah), yaitu mereka mengacu pada madzhab Syafi’I tidak dengan jalan taqlid. Tapi, mereka tatkala mendapatkan thariqah (metode) yang di pake Syafi’I dalam berijtihat, dan qiyas merupkan salah satu metodenya yang paling canggih, sementara mereka harus berijtihad, maka mereka menggunakan thariqah(metode) Syafi’I tersebut guna menggali dan mengetahui ketetapan-ketetapan hukum.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa tingkaan ini (mujtahid muntasib) dapat ditemukan pada sebagian murid-murid (ashab) Abi Hanafi yang belum mencapai level Imam Ziyad, Abu Yusuf dan Muhammad, dan sebagainya. Demikian pula, termaksud golongan ini, ashab Malik dan Ashab Syafi’I seperti Muzany dan lain-lain sebagaimana dituturkan dimuka,yaitu ulama yang berijtihad sendiri dalam masalah-masalah tertentu yang berbeda dari asy-Syafi’i.
Setelah periode Imam Madzhab sampai beberapa periode, tak pernah kosong suatu masa dari golongan mujtahid muntasib yang terikat pada system ijtihad imamnya secara global, tetapi tidak terikat pada masalah furu’. Bisa saja hasil ijtihadnya sejalan atau berlawanan dengan hasil ijtihat imamnya. Selain, ia mempunyai otoritas untuk berijtihad terhadap masalah-masalah baru yang belum pernah dijumpai oleh imamnya.

3.     Mujtahid Madzhab 
          Tingakatan ketiga adalah Mujtahid Madzhab. Mereka mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan ilat-ilat fiqhy yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum dijumpai dimasa lampau.
Fungsi dan peranan Mujtahid Madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal;
1.      Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imamnya pendahulunya, serta semua kaedah fiqhiyah yang bersifat umum yang terumuskan dari ilat-ilat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar tersebut.
2.      Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan kaedah-kaedah tersebut.
Tingkatan inilah yang melahirkan ‘’ al-fiqhy al- madzhaby’’ (aliran fiqh) dan meltakan asas-asas bagi perkembangan madzhab-madzhab, serta mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhab-madzhab tersebut. Mujtahid ada tingkatan ini pula yang meletakan asas-asas tarjih dan muqayasah (perbandingan) di antara pendapat ulama guna menilai shahih atau dha’ifinya suatu pendapat.

4.     Mujtahid Murajjih
          Tingkatan keempat adalah Mujtahid Murajjih. Mereka tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukum furu’ yang belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui hukumnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat diatas lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alasan-alasan lain, sepanjang tidak temaksud ke dalam kategori melakukan kegiatan istintibath baru yang independen ataupun mengikuti metode istinbath imamnya.
Perbadaan antara tingkatan ini dan tingkatan di atasnya, sesungguhnya tidak begitu jelas. Sebab kegiatan mentarjih pendapat ulama sesuai dengan ushulnya tidak jauh berbeda dari kegiatan istinbath terhadap hukum-hukum furu’ yang belum pernah dikaji oleh imamnya.

5.     Mujtahid Muwazin
          Tingkatan kelima dalah Mujtahid Muwazin. Yang membandingkan antara beberapa pendapat dan riwayat. Agar pembagian tingkatan mujtahid dapat di bedakan dengan jelas, tidak tumpang tindih, maka sebaiknya dibuang satu tingkatan dari tingkatan yang ituturkan oleh Ibnu Abidin tersebut yaitu tingkatan ketiga,keempat dan kelima.
Pertama, tingkatan mukharrij;  yaitu mujtahid yang menelorkan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang belum mendapat perhatian pembahasan dari para perintis madzhab dengan mendasarkan kepada kaedah madzhab.
Kedua , tingkatan murajjih yaitu mujtahid yang bertindak mentarjih diantara beberapa riwayat dan pendapat yang berbeda-beda.
Semua tingkatan ijtihad tersebut dengan pembagian tingkatan yang beraneka ragam tidak terlepas dari salah satu bentuk ijtihad. Sebab di situ sama sekali tidak terdapat kegiatan ijtihad dibidang fiqih. Semata-mata hanyalah menghimpun dan membukukan pendapat-pendapat ulama.

E. Tingkatan Muhafizh
          Tingkatan ini tergolong tingkatan muqaliq, hanya saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Ibnu Abidin yang bermadzhab Hanafi mengatakan bahwa mereka adalah yang mampu membedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha’if(lemah), riwayat yang zahir, madzhab yang zahir, riwayat yang nadir atau langka seperti pengarang kitab-kitab matan yang mu’tabar diantaranya, kitab al-kandz., mereka tidak mengukil di dalam kitab-kitabnya pendapat-pendapat yang ditolak (mardudah) dan riwayat-riwayat yang lemah (dha’if).dengan  demikian ,tugas mereka bukannya melakukan tarjih,akan tetapi mengetahui pendapat yang diunggulkan beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan hasil garapan mujtahid murajjih,
Mujtahid Muhafidz mempunyai hak/wewenang mengeluarkan fatwa sebagaimana ulama pada tingkatan di atasnya.akan tetapi hanya dalam pada lingkup terbatas. Imam al-Khair ar-Ramly dalam kitab Fatawanya berkata;
Tidak diragukan lagi. Bahwa mengetahui pendapat rajah(yang unggul) yang memperisihkan, dari pendapat marjuh(yang di ungguli), serta derajatnya dari segi kuat dan lemahnya, adalah puncak dari cita-cita orang yang tekun dalam upaya memperoleh ilmu. Kewajiban seorang mufti atau qadhi adalah bertindak jeli dan teliti dalam memberikan jawaban, tidak gegabah, guna menghindarkan dari berbuat bohong kepada AllAh dengan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan atau sebaliknya.
Muqalliq
          Tingkatan muqalliq ini berada dibawah semua tingkatan yang telah diuraikan diatas. Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk bisa mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih. Dalam bahasa Ibnu Abidin; ‘’ mereka tidak bisa membedakan antara kurus dan gemuk, antara kiri dan kanan. Mereka hanya menghimpun apa saja yang didapatkan. Tak ubahnya seperti pencari kayu dimalam hari sunnguh celaka orang yang mau bertaqliq kepadanya.’’
Dimasa sekarang terdapat segolongan ulama di tingkatan ini. Mereka cukup mengatakan, disana terdapat qaul(pendapat)begini. Sikap golongan muqallik yang sedemikian membawa dampak (negative) terhadap lingkungan masyarakat yang merasa mendapatkan legitimasi atas perbuatan yang mereka kerjakan. Celakalah mereka dan orang-orang yang bertaqlid kepadanya, sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Sebab dengan begitu eksistensi agama akan terus terjaga, terhindar dari berbagai upaya penyelewengan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab, dapat dijelaskan esensi agama secara murni sepanjang masa, dapat diterapkan kaedah-kaedah ushulnya tanpa menyimpang dari system dan metodologi yang dipakai, tidak terjadi penambahan atas hukum-hukumnya serta tidak tercerabut dalam ikatan keagamaan.

Penutupan pintu ijtihad akan menjauhkan masyarakat dari sumber-sumber hukum islam yang pertama; al-kitab, as-sunnah dan peninggalan-peninggalan salafus, sehingga membawa mereka yang berlebihan dalam bertaqliq kepada suatu pandangan bahwa penafsiran al-Quran dan Hadits tidak perlu lagi setelah tertutupnya pintu ijtihad.

     F. Pembidangan ijtihad
          Dalam hal ini perlu dipertimbangkan beberapa hal;
1.      Ijtihad adalah “ derajat’’ (tingkat keahlian) dibidang fiqih. Barang siapa telah mencapai derajat itu , berarti telah menguasai ushul dan tujuan hukum islam. Karena itu, kemampuan ijtihadnya tidak terbatas pada bidang-bidang tertentu.
2.       Aspek-aspek hukum islam saling terkait antara satu dan lainnya. Tidak mungkin orang yang berijtihad terhadap satu aspek dalam hukum islam, tanpa menguasai seluruh aspeknya. Ia saling berhubungan amat erat. Tidak bisa memahami masalah mu’malat, kecuali orang-orang yang bener-bener menguasai bab-bab ibadah dengan baik. 
G.        Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad.
Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

H.  Ijtihad Dalam Ekonomi Syariah
Perkembangan ekonomi syariah saat ini secara terus menerus mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional, maupun di Indonesia. Perkembangan ekonomi syariah tersebut meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah,  reksadana syariah, obligasi syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil, koperasi syariah, pegadaian syariah dan berbagai bentuk bisnis syariah lainnya.
Dalam mengembangkan dan memajukan  lembaga tersebut, sehingga dapat bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, dibutuhkan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. Selain itu, ekonomi syariah bukan saja dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan, tetapi juga meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah,  ekonomi makro (kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan dan pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti  upah/ perburuhan, dan sebagainya. Sepanjang subjek  itu terkait dengan ekonomi syariah, maka keterlibatan ulama syariah menjadi niscaya. Ulama ekonomi syariah berpendapat:
 
 1). Berijtihad memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi keuangan  yang muncul   baik skala mikro maupun makro. 
2).  Mendesign akad-akad syariah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai lembaga keuangan syariah,
 3).   Mengawal dan menjamin seluruh produk perbankan dan keuangan syariah      dijalankan sesuai syariah. 
 
               Untuk menjadi ulama ekonomi syariah dengan tugas seperti itu, diperlukan sejumlah syarat/kualifikasi. Kualifikasi ini diperlukan, karena ulama ekonomi syariah berperan mengeluarkan fatwa-fatwa yang terkait dengan ekonomi syariah melalui ijtihad. Ijtihad merupakan pekerjaan para ulama dalam menjawab persoalan-persoalan hukum syariah dan  memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul.  Menurut disiplin ilmu ushul fiqh, salah satu syarat yang harus dimiliki ulama yang bertugas  berijtihad adalah menguasai ilmu ushul fiqh. Tanpa mengetahui ilmu ushul fiqh, maka keberadaannya sangat diragukan, bahkan tidak memenuhi syarat sebagai ulama ekonomi syariah. Demikian pula halnya dengan figur  yang duduk sebagai majlis fatwa, dewan syariah atau dewan pengawas syariah yang senantiasa menghadapi masalah-masalah ekonomi syariah, dibutuhkan pengetahuan yang mendalam dan luas tentang ilmu ushul fiqh dan perangkat ilmu syariah yang terkait.  

   "Ekonomi syariah yang berkembang di Indonesia merupakan ijtihad para ulama Indonesia agar ekonomi bebas dari sistem riba (bunga) sehingga banyak berkembang bank syariah, asuransi syariah, leasing syariah dan lain-lain," ujar Hasan Ali.


Hasan Ali juga menuturkan bahwa sistem perbankan syariah tidak kalah dengan konvensional, kemudahan untuk bertransaksi ada juga di bank syariah. Selain itu ditekankan pula jenis-jenis akad yang sangat variatif di perbankan syariah, mulai pinjaman (Qordul hasan), yaitu pinjaman berupa uang yang harus dikembalikan seperti jumlah yang dipinjam untuk kepentingan sosial, selain itu ada pula akad bagi hasil, mudharabah atau musyarakah yang lebih mengedepankan kepercayaan pada suatu investasi.


BAB III
KESIMPULAN

              Sebagaimana digambarkan di atas, bahwa ijtihad  adalah upaya pencurahan segala kemampuan oleh seorang yang mempunyai kelayakan ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah tertentu untuk mendapatkan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer dengan berdasarkan sumber-sumber hukum yang diakui oleh Syarak (al-Qur’an dan al-Sunnah). Dalam era global, dimana dunia diibaratkan sebagai planet yang tidak berbatas (borderless world atau sering juga disebut global village) karena begitu spektakulernya perkembangan teknologi informasi (terutama dengan adanya internet) dan pengangkutan (pesawat terbang), menjadikan ijtihad merupakan suatu perkara yang sangat mungkin dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kelayakan ilmiah dan kesungguhan. Semua yang diperlukan untuk untuk melakukan ijtihad saintifik sudah tersedia, tinggal menunggu kemauan dan kesungguhan manusia itu sendiri. Di sisi lain, selain era global menjanjikan peluang yang besar pada umat manusia, juga meninggalkan persoalan dan tantangan, khususnya dalam bidang hukum muamalat. Muamalat dalam istilah popuper sering dipersamakan dengan transaksi.[1] Muamalah merupakan peruatan dan hubungan-hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan
berpandukan syariah. Pengertian ini jelas sekali menunjukkan hubungan antara transaksi dengan syariah. Syariah menjadi guideline bagi semua aktivitas transaksi. Aktivitas transaksi yang tidak mengikuti ketentuan syariah berarti dilarang (diharamkan).



Lihat Nadirsyah Hosen (2004), “Behind The Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies, hh. 166-168. 

FIQIH, MAKALAH MUDHARABAH (Kerjasama Bagi Hasil)



DAFTAR ISI
I.                   KATA PENGANTAR...................................................................................2
II.                DAFTAR ISI..................................................................................................3
III.             MUDHARABAH...........................................................................................4
1.      Pengertian............................................................................................4
2.      Hukum Mudharabah............................................................................4
3.      Rukun dan Syarat Mudharabah...........................................................5
4.      Macam-macam Mudharabah...............................................................7
IV.             MUSAQOH....................................................................................................7
1.      Pengertian dan Dasar Hukum..............................................................7
2.      Rukun dan Syarat Musaqoh.................................................................8
3.      Hukum-hukum yang Terkait Dengan Al-Musaqoh..............................9
4.      Berakhirnya Akad Musaqoh................................................................10
V.                MUSYARAKAH............................................................................................11
1.      Pengertian.............................................................................................11
2.      Dasar Hukum........................................................................................12
3.      Macam-macam Musyarakah.................................................................12
4.      Syarat-syarat Musyarakah.....................................................................14
5.      Rukun-rukun Musyarakah.....................................................................14
VI.             MUZARA’AH.................................................................................................15
1.      Pengertian..............................................................................................15
2.      Hukum Muzara’ah.................................................................................16
3.      Rukun-rukun Muzara’ah........................................................................16
4.      Syarat – syarat Muzara’ah......................................................................16
5.      Akibat Akad Muzara’ah.........................................................................17
VII.          DAFTAR PUSTAKA..................................................................................18






MUDHARABAH ( Kerjasama Bagi Hasil )
I.              Pengertian
Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz menyebutnya dengan qiradh.
Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:
 أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما لا يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا
Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.

II.           Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya
Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

...و ا خر و ن يضر بو ن فى ا لأ ر ض يبتغو ن من فضل ا لله
dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…


Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:
ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضلا من ربكم ...
   Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…
   Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib yang artinya:
   Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

III.        Rukun dan Syarat mudharabah
Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :
1.      Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )
2.      Modal, pekerjaan, dan keuntungan
3.      Shigat ( ijab qabul)
Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b.      Yang terkait dengan modal, disyaratkan: (1)berbentuk uang, (2)jelas jumlahnya, (3)tunai, (4)diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menganggu kelancaran usaha itu.
c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentukbakad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.




IV.        Macam-macam Mudharabah
Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal. Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.
   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat sebagai berikut :
  1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
  2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal selama profitable.
  3. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa.

MUSAQOH
I.              Pengertian dan Dasar Hukum
Secara sederhana musaqoh diartikan dengan kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.
Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.
Dasar hukum bolehnya adalah hadist nabi yang mempekerjakan penduduk khaibar yang disebutkan di atas, yang kerjasama pertanian tersebut juga mencakup merawat tanaman. Sedangkan bagian ulama memandangnya sebagai muamalah upah mengupah, berpendapat tidak boleh karena upah tidak boleh dari hasil kerja tapi dalam bentuk nilai uang yang sudah pasti sesuai dengan perjanjian.
II.           Rukun dan syarat musaqoh
Ulama hanafiah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-musaqoh adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qobul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.
Sedangkan jumhur ulama yang terdiri atas ulama malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah berpendirian bahwa transaksi al-musaqah harus memenuhi lima rukun, yaitu :
  1. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi
  2. Tanah yang dijadikan obyek al-musaqah
  3. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap
  4. Ketentuan mengenai pembagian hasil al-musaqah
  5. Shigat (ungkapan) ijab dan qabul

Adapun syarat-syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun adalah :
  1. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh) dan berakal.
  2. Obyek al-musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah. Dalam menentukan obyek al-musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Menurut ulama hanafiyah yang boleh menjadi obyek al-musaqah adalahpepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Namun menurut ulama Hanafiyah muta’akhirin menyatakan al-musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah menyatakan objek al-musaqah adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel, dan anggur; dengan syarat bahwa: (a) akad al-musaqah itu dilakukan sebelum buah layak panen, (b) tenggang waktu yang ditenyukan jelas, (c) akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh, (d) pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu. Menurut ulama Hanabilah, objek al-musaqah adalah pada tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan yang boleh menjadi objek al-musaqah adalah hanya kurma dan anggur saja, seperti yang dikatakan oleh sabda Rasulullah saw, yang mengatakan: ”Rasulullah menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketenyuan sebagian dari hasilnya, baik dari buah-buahan ataupun biji-bijianmenjadi milik orang Yahudi itu.
  3. Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.
  4. Hasil yang dihasilkan oleh kebun itu adalah hak mereka bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Menurut pendapat al-Syafi’i yang terkuat sah melakukan perjajian musaqah pada kebun yang telah berbuah, tapi buahnya belum dapat dipastikan baik (belum matang).
  5. Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian. Namun menurut Hanafiyah, penetapan jangka waktu bukanlah suatu keharusan dalam musaqah tetapi dipahami sebagai satu cara terbaik. Sejalan dengan ulama Hanafiyah, Daud az-Zahiri berpendapat bahwa penetapan waktu bukan suatu syarat dan hal itu diserahkan kepada kebiasaan setempat.
III.        Hukum-hukum yang Terkait Dengan al-Musaqah
      Hukum-hukum yang berkaitan dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:
  1. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dann segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.
  2. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (petani dan pemilik).
  3. Jika kebun itu tidak menghasilkan apa-apa, maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
  4. Akad al-musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada halangan yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu.
  5. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas izin dari pemilik perkebuan pertama.

Akad al-musaqah bisa fasid apabila:
  1. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi pemilik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
  2. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen salah satu pihak, misalnya seperti seperdua dan sebagainya, atau bagian petani dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam panen tidak ada lagi.
  3. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja dikebun itu.
  4. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap karena dalam akad al-musaqah pekerjaan sejenis ini bukan pekerjaan petani, karena perserikatan dilakukan hanyalah untuk memelihara dan mengairi tanaman, bukan memulai tanam.
  5. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani dan pemilik.
  6. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu.
Jika akad al-musaqah fasid maka akibat hukumnya adalah:
  1. Petani penggarap tidak boleh dipaksa bekerja dikebun itu
  2. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tapi ia hanya berhak mendapatkan upah yang wajar yang berlaku di daerah itu.
IV.        Berakhirnya Akad al-Musaqah
Menurut ulama fiqh, akad al-musaqah berakhir apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad habis,
b.      Salah satu pihak meninggal dunia,
c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak dapat meneruskan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini diantaranya apabila petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja. Jika petani itu yang wafat maka akli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum panen. Sedangkan apabila pemilik perkebunan yang waafat maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, maka ahli waris kedua belah pihak boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.
   Akan tetapi ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad al-musaqah adalah akad yang boleh diawarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah juga mengatakan bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan karena uzur. Apabila petani memounyai uzur maka harus ditunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad al-musaqah adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak. Oleh sebab itu salah satu pihak boleh membatalkan akad tersebut. Jika pembatalan akad dilaksanakan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang ada.

MUSYARAKAH ( Syirkah )
I.              Pengertian
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerja sama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang.
Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh.
Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
إ ذ ن فى الصرف لهما مع أ نفسهما فى مال لهما
Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :
ثبو ت الحق فى شيئ لإ ثنين فأ كثر على جهة الشيوع
Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
Pada dasarnya definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
II.           Dasar hukum asy-syirkah
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :
...فهم شر كا ء فى الثلث...
...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...
Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan. Dalam ayat lain Allah berfirman :
و إن كثيرا من الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إلا اﻟﺫ ين امنوا وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم...
 ...sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang beriman dan mengerjakan amal – amal saleh; dan amat sedikit mereka ini...
Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.
III.        Macam – macam asy-Syirkah
Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak ( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan berdasarkan suatu akad ).
1.      Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam kategori ini, selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:
a.       Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, awakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.
b.      Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.
    Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.
2.      Syirkah al-Uquq
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke dalam syirkah al-‘uquq.
Ulama Hanabilah membaginya ke dalam lima bentuk, yaitu :
a.       Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya ).
b.      Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungannya dibagi rata ).
c.       Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama ).
d.      Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
e.       Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)
Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat bentuk :
a.       Syirkah al-‘inan.
b.      Syirkah al-mufawadhah.
c.       Syirkah al-abdan.
d.      Syirkah al-wujuh.
Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :
a.       Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).
b.      Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).
c.       Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).
IV.        Syarat – syarat asy-syirkah
Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uquq mempunyai syarat – syarat umum, yaitu:
a.       Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain. Dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
b.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing – masing pihak yang berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
c.       Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
V.           Rukun – rukun Musyarakah
a.       Para pihak yang bersyirkah.
b.      Porsi kerjasama.
c.       Proyek/usaha ( masyru’ ).
d.      Ijab qabul ( sighat ).
e.       Nisbah bagi hasil.
Pada bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud hal-hal berikut ini.
1.      Pembiayaan proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
2.      Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
MUZARA’AH atau MUKHABARAH
I.              Pengertian
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:
الشر كة فى الزرع
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:
د فع الأرض إلى من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما
Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.
Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”  Penduduk Irak menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:
عمل الأرض ببعض ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل
Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

II.           Hukum Akad al-muzara’ah
Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.
Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:
أن رسو ل الله عليه وسلم نهى عن المهخا برة.
﴿رواه مسلم عن جا بر بن عبد الله
Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn Abdillah ).
Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن المزرعة.
﴿رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك﴾
Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).
III.        Rukun al-Muzara’ah
Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka adalah:
a.       Pemilik tanah.
b.      Petani penggarap.
c.       Obyek al-muzara’ah.
d.      Ijab dan qabul.
IV.        Syarat-syarat al-Muzara’ah
Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b.      Batas-batas tanah itu jelas.
c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:
a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.
b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.
c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui kumlah itu.
V.           Akibat akad al-Muzara’ah
Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian itu.
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.
c.       Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.


DAFTAR PUSTAKA
Latif Azharudin. 2005. Fiqh Muamalat. UIN Jakarta Press: Jakarta.
Haroen Nasrun . 2000. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama: Jakarta.
Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Ghayarni. 2004. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Pustaka Progressif: Surabaya.
Rodoni Ahmad, Hamid Abdul. 2008. Lembaga Keuangan Syariah. Zikrul Hakim: Jakarta.
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Raja Grafindo: Jakarta.
Ali Sakti. 2007. Ekonomi Islam. Aqsa Publishing: Jakarta.
Shalah ash Shawi. Abdullah al-Mushlih. 2001. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq: Jakarta.
H Ibrahim Lubis. 1995. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Kalam Mulia: Jakarta.
Ahmad M Saepudin. 1987. Ekonomi dan Masyarakat Dalam Perspektif IslamI. Rajawali Pers: Jakarta.
Suhendi Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Grafindo: Jakarta
Azhar Basyir, Ahmad. 2004. Asas-asas Hukum Muamalah. Uii Press: Yogyakarta.