Selasa, 27 Desember 2011

Hakekat Psikologi Islam

Psikologi Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia belajar dalam pendidikan pengaturan, efektivitas intervensi pendidikan, psikologi pengajaran, dan psikologi sosial dari sekolah sebagai organisasi. Psikologi pendidikan berkaitan dengan bagaimana siswa belajar dan berkembang, dan sering terfokus pada sub kelompok seperti berbakat anak-anak dan mereka yang tunduk pada khusus penyandang cacat .
Menurut Muhibin Syah (2002), pengertian psikologi pendidikan adalah sebuah disiplin psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang terjadi dalam dunia pendidikan. Sedangkan menurut  ensiklopedia amerika, Pengertian psikologi pendidikan adalah ilmu yang lebih berprinsip dalam proses pengajaran yang terlibat dengan penemuan – penemuan dan menerapkan prinsip – prinsip dan cara untuk meningkatkan keefisien di dalam pendidikan.

Pengertian Psikologi Pendidikan

Sedangkan menurut  Witherington, Pengertian Psikologi pendidikan adalah  studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
Tardif (dalam Syah, 1997: 13) juga mengatakan bahwa Pengertian Psikologi Pendidikan adalah sebuah bidang studi yang berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha kependidikan.
Dari beberapa pendapat tentang psikologi pendidikan, kami mengambil kesimpulan bahwa Pengertian Psikologi Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari  tentang perilaku manusia di dalam dunia pendidikan yang meliputi  studi sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia yang tujuannya untuk mengembangkan dan meningkatkan keefisien di dalam pendidikan.
=========================================================================
HAKEKAT PSIKOLOGI ISLAM Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontemporer didunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai psikologi yang ditawarkan oleh para psikolog.Masing-masing pengertian memiliki keunikan, seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliranyang dianut oleh penciptanya. Meskipun demikian, perumusan pengertian psikologi dapatdisederhanakan dalam tiga pengertian. Pertama , Psikologi adalah studi tentang jiwa ( psyche),seperti studi yang dilakukan Plato (427-347 SM.) dan Aristoteles (384-322 SM.) tentangkesadaran dan proses mental yang berkaitan dengan jiwa.Kedua, Psikologi adalah ilmupengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi,kemauan, dan ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt.Ketiga, Psikologi adalah ilmupengetahuan tentang perilaku organisme, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku manusiaterhadap sesamanya, dan sebagainya. Definisi yang terakhir ini dipelopori oleh John Watson.  Pengertian pertama lebih bernuansa filosofis, sebab penekanannya pada konsep jiwa. Psikolog disini berperan untuk merumuskan hakekat jiwa yang proses penggaliannya didasarkan ataspendekatan spekulatif. Kelebihan pengertian pertama ini dapat mencerminkan hakekat psikologiyang sesungguhnya, sebab ia dapat mengungkap hakekat jiwa yang menjadi objek utama kajianpsikologi. Kelemahannya adalah bahwa pengertian ini belum mampu membedakan antara disiplinfilsafat yang bersifat spekulatif dengan psikologi yang bersifat empiris. Psikologi seakan-akanmasih menjadi bagian dari disiplin filsafat, yang salah satu kajiannya membahas hakekat jiwa.Pengertian kedua mencoba memisahkan antara disiplin filsafat dengan psikologi, sehingga fokuskajiannya pada kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, intelegensi, kemauan, daningatan. Namun pemisahan ini belum sempurna, sehingga antara disiplin filsafat dengan psikologimasih berbaur. Pengertian psikologi yang lazim dipakai dalam wacana Psikologi Kontemporeradalah pengertian ketiga, karena dalam pengertian ketiga ini mencerminkan psikologi sebagaidisiplin ilmu yang mandiri yang terpisah dari disiplin filsafat. Pada pengertian ketiga ini, fokuskajian psikologi tidak lagi hakekat jiwa, melainkaan gejala-gejala jiwa yang diketahui melaluipenelaahan perilaku organisme. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki jiwa, namunsecara empirik hakekat jiwa tersebut tidak dapat diketahui, sehingga psikologi hanya membahasmengenai proses, fungsi-fungsi, dan kondisi kejiwaan. Bagi psikolog tertentu, khususnya darikalangan Psiko-behavioristik, tidak begitu tertarik dengan membicarakan hakekat jiwa. Merekabahkan tidak memperdulikan perbedaan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting bagimereka adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar ia mampumeresponsnya dalam bentuk perilaku.Pengertian psikologi yang dimaksud dalam buku ini lebih cenderung pada pengertian pertama.Ada beberapa alasan mengapa pengertian pertama yang dipilih:Pertama,Psikologi Islam sebagai[Image]  
disiplin ilmu yang mandiri baru memasuki proses awal. Pendekatan yang digunakan lebihmengarah pada pendekatan spekulatif, yang membicarakan hakekat mental dan kehidupannya.Sumber data yang digunakan berasal dari proses deduktif, yang digali dari nash (al-Qur`an danal-Sunnah) dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan belum memasuki wilayahempiris-eksperimental;Kedua,Psikologi Kontemporer Barat dalam perkembangannya mengalamidistorsi  yang fundamental.  Psikologi seharusnya membicarakan tentang konsep jiwa, namun justru ia mengabaikan bahkan tidak tahu-menahu tentang hakekat jiwa, sehingga ia mempelajariilmu jiwa tanpa konsep jiwa.Ketiga,karena alasan ke dua di atas, psikologi kontemporermempelajari manusia yang tidak berjiwa. Atau, menyamakan gejala kejiwaan manusia dengangejala kejiwaan hewan, sehingga temuan-temuan dari perilaku hewan digunakan untukmemahami perilaku manusia. Atas dasar ketiga alasan di atas, penulis lebih cenderungmenggunakan pengertian pertama. Pemilihan ini tidak berarti menafikan keberadaan pengertianpsikologi yang lain, tetapi penulis berharap agar ada perimbangan atau bandingan dalam memilihmodel pengembangan disiplin psikologi. Untuk beberapa tahun mendatang, barangkali PsikologiIslam dapat mengembangkan pengertian yang ketiga, setelah kerangka konseptualnya telahmapan dan diakui secara objektif dalam perbendaharaan Psikologi Kontemporer.Psikologi secara etimologi memiliki arti ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa dapatdisamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipunistilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs.Psikologi dapat diterjamahkanke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh.Penggunaan masing-masing keduaistilah ini memiliki asumsi yang berbeda.Istilah Ilm al-Nafsbanyak dipakai dalam literatur Psikologi Islam. Bahkan Sukanto Mulyomartonolebih khusus menyebutnya dengan Nafsiologi. Penggunaan istilah ini disebabakan objek kajianpsikologi Islam adalah al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Termal-nafs tidak dapatdisamakan dengan term soul atau  psyche dalam psikologi kontemporer Barat, sebabal-nafsmerupakan gabungan antara substansi jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau  psychehanya berkaitan dengan aspek psikis manusia. Menurut kelompok ini, penggunaan term al-nafsdalam tataran ilmiah tidak bertentangan dengan doktrin ajaran Islam, sebab tidak ada satupunnash yang melarang untuk membahasnya. Tentunya hal itu berbeda dengan penggunaan istilahal-ruhyang secara jelas dilarang mempertanyakannya (perhatikan Q.S. al-Isra` ayat 85).Penggunaan istilahIlm al-Ruhditemukan dalam karya psikolog Zuardin Azzaino. Istilah itukemudian dijadikan dasar untuk membangun Psikologi Ilahiah, yaitu psikologi yang dibangun darikerangka konseptualal-ruhyang berasal dari Tuhan. Boleh jadi Azzaino tidak mengikutiperkembangan literatur Psikologi Islam, sebab literatur yang digunakan dalam bukunya tidaksatupun yang bersumber dariIlm al-Nafs fi al-Islam(Psikologi Islam). Tetapi yang menarik daritawaran Azzaino tersebut adalah bahwa ruh yang menjadi objek kajian psikologi Islam memilikiciri unik, yang tidak akan ditemukan dalam Psikologi Kontemporer Barat. Objek kajian PsikologiIslam adalah ruh yang memiliki dimensi ilahiah (teosentris), sedangkan objek kajian PsikologiKontemporer Barat berdimensi insaniah (antroposentris). Karena perbedaan yang mendasar inilahmaka Azzaino terpaksa menggunakan term khusus untuk menentukan ciri unik Psikologi Islam.Menanggapi kedua polemik ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah Ilm al-Nafs. Selainistilah itu lebih populer dan masuk dalam perbendaharaan literatur psikologi, secara ideologispembahasan objek al-nafs tidak bertentangan dengan nash. Hanya saja yang patutdipertimbangkan adalah kritikan Malik B. Badri bahwa Psikologi Islam kini nyaris masuk dalamliang Biawak, yang sulit keluar darinya. Kritikan itu nampaknya dapat ditangkap dengan cermatoleh Azzaino, sehingga ia mencoba mencari alternatif peristilahan baru. Dengan demikian,kebolehan menggunakan istilah Ilm al-Nafs dengan catatan tidak menyalahi kerangka filosofisPsikologi Islam.Hakekat psikologi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:kajian Islam yang berhubungandengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.  Hakekat definisi tersebut mengandung tiga unsur pokok;Pertama,bahwa psikologi Islam  
merupakan salah satu dari kajian masalah-masalah keislaman. Ia memiliki kedudukan yang
samadengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Politik Islam,Kebudayaan Islam, dan sebagaianya. Penempatan kata Islam di sini memiliki arti corak, carapandang, pola pikir, paradigma, atau aliran. Artinya, psikologi yang dibangun bercorak ataumemilili pola pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam Islam, sehingga dapatmembentuk aliran tersendiri yang unik dan berbeda dengan psikologi kontemporer padaumumnya. Tentunya hal itu tidak terlepas dari kerangka ontologi (hakekat jiwa), epistimologi(bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam. Melaluikerangka ini maka akan tercipta beberapa bagian psikologi dalam Islam, seperti PsikopatologiIslam, Psikoterapi Islam, Psikologi Agama Islam, Psikologi Perkembangan Islam, Psikologi SosialIslam, dan sebagainya.Kedua,  bahwa Psikologi Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupaal-ruh, al-nafs, al-kalb, al-`aql, al-dhamir, al-lubb, al-fuad,al-sirr, al-fithrah,dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki eksistensi, dinamisme,proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji melalui al-Quran, al-Sunnah, serta dari khazanahpemikiran Islam. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apahakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensialyang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar )-nya.Dari sini nampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusiauntuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam kebebasantersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Swt.Ketiga,  bahwa Psikologi Islam bukan netral etik, melainkan sarat akan nilai etik. Dikatakandemikian sebab Psikologi Islam memiliki tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agarmampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui apa-apa, lalu ia tumbuhdan berkembang untuk mencapai kualitas hidup. Psikologi Islam merupakan salah satu disiplinyang membantu seseorang untuk memahami ekspresi diri, aktualisasi diri, realisasi diri, konsepdiri, citra diri, harga diri, kesadaran diri, kontrol diri, dan evaluasi diri, baik untuk diri sendiri ataudiri orang lain. Jika dalam pemahaman diri tersebut ditemukan adanya penyimpangan perilakumaka Psikologi Islam berusaha menawarkan berbagai konsep yang bernuasailahiyah, agar dapatmengarahkan kualitas hidup yang lebih baik, yang pada gilirannya dapat menikmati kebahagiaanhidup di segala zaman. Walhasil, mempelajari psikologi Islam dapat berimplikasi membahagiakandiri sendiri dan orang lain, bukan menambah masalah baru seperti hidup dalam keterasiangan,kegersangan, dan kegelisahan.Psikologi Islam sudah sepatutnya menjadi wacana sains yang objektif, bahkan boleh dikatakantelah mencapai derajat supra ilmiah. Anggapan bahwa Psikologi Islam masih bertaraf   pseudo-ilmiahadalah tidak benar, sebab Psikologi Islam telah melampaui batas-batas ilmiah. Objektifitassuatu ilmu hanyalah persoalan kesepakatan, yang kreterianya bukan hanya kuantitatif melainkan juga kualitatif. Psikologi Kontemporer telah mendapatkan kesepakatan dari kalangannya sendiri.Demikian juga Psikologi Islam telah mendapatkan kesepakatan dari kalangan kaum muslimin. Jikaorang lain berani mengedepankan pemikiran psikologi melalui pola pikirnya sendiri, sertamengklaim keabsahan dan objektifitasnya, lalu mengapa kita tidak berani melakukan hal yangsama, yaitu mengedepankan pemikiran Psikologi Islam berdasarkan pola pikir Islam.Hall dan Lindzey menyatakan bahwa tokoh besar seperti Freud, Jung dan McDougall tidak hanyaberijazah dalam ilmu kedokteran, tetapi juga berpraktek sebagai ahli psikoterapi. Hal inimenunjukkan bahwa pengembangan psikologi bersumber dari profesi dan lingkungan praktekkedokteran dan bukan berasal dari penelitian akademik. Banyak di antara metode dan teknik yangdikembangkan justru menyalahi dan memberontak terhadap masalah-masalah normatif yangsudah mapan di lingkungan akademik. Problem seperti ini bukan menjadikan psikologi kepribadandilupakan, tetapi malah memiliki implikasi penting dalam pengembangan diskursus-diskursus lain.Kondisi ini menunjukkan bahwa Psikologi Kontemporer Barat pada mulanya tidak mengikutiaturan-aturan ilmiah yang berlaku di dunia akademik, tetapi setelah teori-teori mereka terujisecara empirik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, maka pemikiran mereka diakui  sebagai disiplin yang objektif.Para pemerhati, analis dan peneliti disiplin psikologi akhir-kahir ini telah membukan jendela untukmengintip wacana yang berkembang di dalam khazanah Islam. Mereka sadar bahwa PsikologiBarat Kontemporer baru berusia dua abad, padahal upaya-upaya pengungkapan fenomenakejiwaan dalam Islam telah lama berkembang. Mereka mengetahui kedalaman materinya, lalumereka masuk ke dalamnya dan mencoba mempopulerkannya. Hall dan Lindzey telah menulissatu bab khusus untuk Psikologi Timur. Menurutnya, salah satu sumber yang sangat kaya daripsikologi yang dirumuskan dengan baik adalah agama-agama Timur. Dalam dunia Islam, para sufi(pengamal ajaran tasawwuf) telah bertindak sebagai para psikolog terapan. Tasawwuf merupakandimensi esoteris (batiniah) dalam Islam, yang membicarakan struktur jiwa, dinamika proses danperkembangannya, penyakit jiwa dan terapinya, proses penempaan diri di dunia spiritual (suluk),proses penyucian jiwa(tazkiyah al-nafs) dan cara-cara menjaga kesehatan mental, dansebagainya. Aspek-aspek ini dalam sains modern masuk ke dalam wilayah psikologi.Frank. J. Bruno,Kamus Istilah Kunci Psikologi, terj. Cecilia G. Samekto, judul asli, “Dictionary of Key in Psychology”,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 236-237Misalnya yang terjadi pada aliran Behaviorisme John Dollard, Neal E. Miller, B.F. Skinner dariPsiko-operan yang tidak begitu tertarik dengan persoalan struktur kejiwaan manusia yangmenetap dan relatif stabil. Mereka lebih berminat mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dapatmengakibatkan respons-respons tertentu yang pada gilirannya membangkitkan stimulus-stimulusyang memiliki sifat pendorong. Atau berminat pada tingkah laku yang dapat diubah. Lihat!, CalvinHall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Sifat dan Psikobehavioristik,diterjmahkan oleh Yustinus, judul asli; Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 320-221,326Lihat!Nafsiologi; Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi (1986) karya SukantoMulyomartono, kemudian disempurnakan bersama A. Dardiri Hasyim dengan judulNafsiologi;Sebuah Kajian Analitik  (1995); (2)Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islmiy (1979) karya Hasan Muhammadal-Syarqawiy; (3)Ilm al-Nafs al-Mashir fi Dhaw’i al-Islm(1983) karya Muhammad MahmudMahmud; (4)Ilm al-Nafs al-Islamiy (1989) karya Maruf Zarif; dan (5)al-Quran wa Ilm al-Nafs(1982) karya Muhammad Usman Najati.  Asas-asas Psikologi Ilahiah; Sistema Mekanisme Hubungan antara Roh dan Jasad (1990)karya H.S. Zuardin Azzaino.Maksud keunikan di sini terutama menyangkut masalah-masalah yang mendasar (kerangkafilosofis) dan bukan masalah-masalah teknis-operasional. Psikologi Islam tidak akan mentolerirmasalah-masalah yang fundamenatal, sebab jika hal itu diabaikan maka mengakibatkanpengkaburan antara hakekat Psikologi Islam dengan Psikologi Kontemporer Barat. Sedangkanmasalah-masalah teknik-operasional, Islam tidak banyak menyinggungnya, sehingga tidak adasalahnya jika mengadopsi dari yang lain. Misalnya dalam pembagian struktur manusia, Islam tidakmenerima teori Sigmund Freud yang membagi struktur jiwa manusia dengan id, ego dan super ego. Pembagian ini menafikan alam supra sadar, sehingga kepercayaan akan Tuhan atau agamadinyatakan sebagai delusi atau ilusi. Islam mempercayai adanya struktural-ruh yang berdimensi ilahiyah dan bersentuhan dengan alam supra sadar, sehingga orang yang beragama merupakanbentuk tertinggi dari aktualisasi diri kepribadian manusia. Demikian juga masalah mimpi. Freuddan para psikolog lainnya menyatakan bahwa mimpi hanyalah produk psikis, sedangkan dalamIslam, mimpi boleh jadi berasal dari produk psikis, dan boleh jadi dari dunia eksternal seperti dariTuhan dan syetan. Jika seseorang tidak percaya adanya mimpi dari dunia eksternal berarti ia tidakmempercayai sebagian wahyu, sebab sebagian wahyu ada yang diterima oleh Nabi melalui mimpi.Namun jika persoalan mimpi berkaitan dengan teknik analisis untuk keperluan terapi, maka tidakada salahnya jika hal itu diadopsi dari teori Freud atau psikolog yang lain.Penjelasan masing-masing term tersebut dapat dilihat dalam pembahasan struktur dandinamikanya.Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis),terj. Yustinus, judulasli, “Theories of Personality”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hh. 20-21
  Di antaranya: (1) Shafii,Freedom from the Self: Sufism, Meditation, and Psychotherapy,(1985); (2) Hoesen Nasr (ed.),Islamic Spirituality: Foundation,(1989); dan (3) Ronald AlanNicholson,Fi al-Tashawwuf al-Islami wa Tarihihi,terj. Abu al-ala al-Afifi (1969).Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey,Teori-Teori Holistik (Organismik-Fenomenologis),terj.Yustinus, judul asli, Theories of Personality, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 222

KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM

Deskripsi
Konsep atau teori kepribadian Islam harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori kepribadian Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma’ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).
Para psikolog dalam melakukan interpretasi test-test psikologi terhadap klien terkadang memerankan diri sebagai Tuhan (play God), melalui alat yang disebut dengan instrumen atau alat test tertentu, padahal ia hanya tahu kulit luarnya saja. Ironisnya, hal itu menjadi acuan untuk diterima-tidaknya seseorang menjadi pegawai atau jabatan tertentu. Bagi calon pegawai yang mengerti tentang kiat-kiat sukses dalam test kepribadian, ia akan belajar terlebih dahulu bagaimana caranya agar ia mendapat nilai baik, karena alat testnya diulang-ulang (itu-itu saja). Test kepribadian dalam konteks ini tidak akan mampu menunjukkan kepribadian yang sesungguhnya.
Untuk diakui sebagai disiplin ilmu, membangun teori kepribadian berbasis Psikologi Islam akan menghadapi problem metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab Psikologi Kepribadian Islam berada di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama harus melalui prinsip-prinsip ilmiah psikologi modern, sementara persimpangan kedua harus melalui nilai-nilai doktriner dalam Islam. Pada aspek tertentu kedua persimpangan itu mudah dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain justru bertabrakan yang salah satunya tidak mau dikalahkan.
Betapapun sulit dan bahkan akan mengalami proses pendangkalan dan klaim tergesah-gesah, upaya membangun Psikologi Kepribadian Islam tidak dapat ditundah-tunda lagi. Fenomena perilaku yang menimpah umat Islam akhir-akhir ini tidak mungkin dapat dianalisis dengan teori-teori Psikologi Kepribadian Barat. Perilaku radikalisme beragama, bom bunuh diri yang populer dengan sebutan bom syahid, maraknya jamaah zikir dan muhasabah, senyumnya Amrozi saat divonis mati adalah sederetan perilaku yang unik dan membutuhkan analisis khusus dari teori-teori Psikologi Kepribadian Islam. Boleh jadi dalam teori Psikologi Kepribadian Barat perilaku tersebut merupakan patologis, sementara dalam Psikologi Kepribadian Islam diyakini sebagai perilaku yang mencerminkan aktualisasi diri atau realisasi diri.
Menghadirkan disiplin kepribadian Islam tidaklah mudah, sebab hal itu mengundang banyak pertanyaan. Klaim ketidakilmiahan dan kerancuan metodologis menjadi senjata penyerangan bagi mereka yang antipati terhadap kehadiran disiplin yang berbasis agama. Bukankah psikologi kepribadian selama ini hanyalah hasil adopsi dari teori-teori Barat? Apakah hal itu tidak menjadikan bias budaya? Mungkinkah teori yang dihasilkan dari penelitian atau eksperimen budaya Barat, bahkan ’budaya’ binatang (karena eksperimennya menggunakan binatang), dijadikan pisau analisis dalam melihat perilaku umat Islam?
Uichol Kim, seorang psikolog asal Korea, mengkritisi psikologi Barat yang menyamaratakan pandangan psikologinya sebagai human universal dengan menawarkan konsep psikologi pribumi (the indigenous psychology). Menurut Kim, yang dikutip Achmad Mubarok, manusia tidak cukup dipahami dengan teori psikologi Barat, karena psikologi Barat hanya tepat untuk mengkaji manusia Barat sesuai dengan kultur sekulernya yang melatarbelakangi lahirnya ilmu itu. Untuk memahami manusia di belahan bumi lain harus digunakan pula basis kultur dimana manusia itu hidup.
Psikologi Kepribadian Islam yang dimaksudkan di sini tidak saja bernilai the indigenous psychology, tetapi juga dianggap sebagai psikologi kepribadian lintas budaya, etnik dan bahasa. Atau lebih tepatnya dianggap sebagai psikologi kepribadian rahmat li al-’alamin, yang mencakup alam syahadah (empirik) dan alam ghayb (metaempirik), bahkan alam dunia dan alam akhirat. Kerangka inilah yang menjadi acuan dalam penulisan buku ini.
Ketika psikologi Islam menghadirkan konsep kepribadian, masalah pertama yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah terminologi apakah menggunakan istilah kepribadian Islam (al-syakhshiyyah al-Islamiyyah) atau kepribadian muslim (syakhshiyyat al-muslim):
Pertama, Kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku manusia, baik sebagai mahluk individu maupun mahluk sosial, yang normanya diturunkan dari ajaran Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari kedua sumber tersebut, para pakar berusaha berijtihad untuk mengungkap bentuk-bentuk kepribadian menurut ajaran Islam, agar bentuk-bentuk itu diterapkan oleh pemeluknya. Rumusan kepribadian Islam di sini bersifat deduktif-normatif yang menjadi acuan bagi umat Islam untuk berperilaku. Oleh karena sifatnya yang deduktif-normatif maka kepribadian Islam di sini diyakini sebagai konsep atau teori kepribadian yang ideal, yang ’seharusnya’ dilakukan oleh pemeluk agama Islam.
Kedua, Kepribadian muslim memiliki arti serangkaian perilaku orang/umat Islam yang rumusannya digali dari penelitian perilaku kesehariannya. Rumusan kepribadian muslim di sini bersifat induktif-praktis, karena sumbernya dari hasil penelitian terhadap perilaku keseharian orang/umat Islam. Boleh jadi dalam penelitian itu ditemukan (1) pola kepribadian yang ideal, karena kepribadian itu sebagai implementasi dari ajaran agama; (2) pola yang menyimpang (anomali), karena perilaku yang ditampilkan bertentangan dengan ajaran agamanya, sekalipun dirinya berpredikat muslim. Dalam konteks ini, keburukan atau kejahatan perilaku orang/umat Islam tidak dapat digeneralisir bahwa ajaran Islam itu buruk dan jahat. Artinya, kepribadian muslim belum tentu mencerminkan kepribadian Islam.
Buku ini menggunakan pola kepribadian Islam bukan kepribadian muslim. Artinya, uraian-uraian yang ditampilkan berdasarkan ajaran normatif Islam yang harus dilakukan oleh muslim. Karena normatif sifatnya maka buku ini menampilkan kepribadian yang ’seharusnya’, bukan ”apa adanya’ dari perilaku umat Islam.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ( Islam sebagai Disiplin Ilmu; Antara Islam dan Psikologi; Kepribadian dalam Psikologi Islam)
BAB II DASAR-DASAR PEMAHAMAN KEPRIBADIAN ISLAM (Pengertian Psikologi Kepribadian Islam [Huwiyah, Aniyah, Zatiyah, Nafsiyah, Syakhshiyah, Akhlak]; Makna Terminologi Kepribadian Islam; Makna Psikologi Kepribadian Islam; Kedudukan Kepribadian dalam Disiplin Ilmu-Ilmu Keislaman; Ruang lingkup Pembahasan Psikologi Kepribadian Islam; Fungsi Psikologi Kepribadian Islam)
BAB III STRUKTUR KEPRIBADIAN ISLAM (Pengertian Struktur Kepribadian; Struktur Kepribadian Islam [Struktur Jisim; Ruh; Nafs {Qalbu, Aqal, Hawa Nafsu}]
BAB IV DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM (Dinamika Struktur Jasmani; Dinamika Struktur Ruhani; Dinamika Struktur Nafsani [Kedudukan Aspek Pisik dan Psikis Struktur Nafsani dalam Pembentukan Kepribadian; Cara Kerja Struktur Nafsani dalam Pembentukan Kepribadian; {Kepribadian Ammarah; Kepribadian Lawwamah; Kepribadian Muthmainnah}])
BAB V TIPOLOGI KEPRIBADIAN DALAM ISLAM ( Pengertian Tipologi; Pola Penelusuran Tipologi dalam Kepribadian Islam; Bentuk-Bentuk Tipologi Kepribadian dalam Islam)
BAB VI KEPRIBADIAN MUKMIN (Kepribadian Rabbani; Kepribadian Malaki; Kepribadian Qur’ani; Kepribadian Rasuli; Kepribadian Yawm Akhiri; Kepribadian Taqdiri)
BAB VII KEPRIBADIAN MUSLIM (Kepribadian Syahadatain; Kepribadian Mushalli; Kepribadian Shaim; Kepribadian Muzakki; Kepribadian Hajji)
BAB VIII KEPRIBADIAN MUHSIN ( Pengertian Kepribadian Muhsin; Pola Pembentukan Kepribadian Muhsin; Bentuk-Bentuk Kepribadian Muhsin)
BAB IX GANGGUAN KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI ISLAM (Pengertian Gangguan Kepribadian Islam; Penyebab Gangguan Kepribadian dalam Islam; Klasifikasi Gangguan Kepribadian dalam Islam; Bentuk-Bentuk Gangguan Kepribadian dalam Islam)
BAB X PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN ISLAM (Pengertian Pengembangan Kepribadian Islam; Pengembangan Kepribadian Islam menurut Pendekatan Konten; Mengembangkan Kepribadian Islam menurut Rentang Kehidupan)
http://www.scribd.com/doc/2978063/Hakekat-Psikologi-Islamhttp://www.scribd.com/doc/2978063/Hakekat-Psikologi-Islamhttp://tarbiyahcintaislami.blogspot.com/2011/12/hakekat-psikologi-islam.html

Jumat, 23 Desember 2011

PENILAIAN BERBASIS KELAS

A. Pengertian Penilaian Berbasis Kelas
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) adalah penilaian yang dilakukan oleh guru dalam rangka proses pembelajaran. PBK merupakan proses pengumpulan dan penggunaan informasi hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru  untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan ( standar komptensi, komptensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar). Penilaian Berbasis Kelas merupakan prinsip, sasaran yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang jelas mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. maksudnya adalah hasil Penilaian Berbasis Kelas dapat menggambarkan kompetensi, keterampilan dan kemajuan siswa selama di kelas.
Depdiknas (2002), menjelaskan bahwa Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam kurikulum berbasis kompetensi. PBK itu sendiri pada dasarnya merupakan kegiatan penilaian yang dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan mengumpulkan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance), dan tes tertulis (paper and pen). Fokus penilaian diarahkan pada penguasaan kompetensi dan hasil belajar siswa sesuai dengan level pencapaian prestasi siswa.
B.  Manfaat, Keunggulan dan Prinsip Penilaian Berbasis Kelas.
1)  Hasil Penilaian Berbasis Kelas bermanfaat untuk :
  1. Umpan balik bagi siswa dalam mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya.
  2. Memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remidiasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya.
  3. Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas.
  4. Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda.
2) Keunggulan Penilaian Berbasis Kelas adalah
  1. Pengumpulan informasi kemajuan belajar baik formal maupun non formal diadakan secara terpadu, dalam suasana yang menyenangkan, serta senantiasa memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, dipahami dan mampu dikerjakan siswa.
  2. Pencapaian hasil belajar siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok (norm reference assessment), tetapi dibandingkan dengan kemampuan sebelumnya kriteria pencapaian kompetensi, standar pencapaian, dan level pencapaian nasional, dalam rangka membantu anak mencapai apa yang ingin dicapai bukan untuk menghakiminya.
  3. Pengumpulan informasi menggunakan berbagai cara, agar kemajuan belajar siswa dapat terdeteksi secara lengkap.
  4. Siswa perlu dituntut agar dapat mengeksplorasi dan memotivasi diri untuk mengerahkan semua potensi dalam menanggapi, mengatasi semua masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri, bukan sekedar melatih siswa memilih jawaban yang tersedia.
  5. Untuk menentukan ada tidaknya kemajuan belajar dan perlu tidaknya bantuan secara berencana, bertahap dan berkesinambungan, berdasarkan fakta dan bukti yang cukup akurat.
3)  Prinsip-prinsip Penilaian Berbasis Kelas
  1. Valid, penilaian memberikan informasi yang akurat tentang hasil belajar siswa.
  2. Mendidik, penilaian harus memberikan sumbangan positif terhadap pencapaian belajar siswa.
  3. Berorientasi pada kompetensi, penilaian harus menilai pencapaian kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
  4. Adil, penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar belakang sosial-ekonomi, budaya, bahasa dan gender.
  5. Terbuka, kriteria penilaian dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka bagi semua pihak.
  6. Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.  (Depdiknas, 2002).
C. Ranah Kognitif, Ranah Afektif dan Ranah Psikomotor sebagai Objek Evaluasi Hasil  Belajar.

  1. 1. Ranah Kognitif.
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom dalam Sudijono (2003:49) segala upaya yang menyangkut aktifitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat 6 (enam) jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang yang terendah sampai jenjang yang paling tinggi, yaitu : (a) Pengetahuan (Knowledge),  (b) Pemahaman (Comprehension), (c) Penerapan (Application), (d) Analisis (Analysis. (e) Sintesis (Syntesis), dan (f) Penilaian/penghargaan (Evaluation). Keenam jenjang berpikir  ranah kognitif ini bersifat kontinum dan everlap (tumpang tindih), dimana ranah yang lebih tinggi meliputi semua ranah yang ada di bawahnya.
  1. 2. Ranah Afektif.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar menyatakan bhwa sukap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif ditaksonomi  menjadi lebih rinci ke dalam 5 (lima) jenjang, yaitu: (a) Menerima atau memperhatikan (Receiving/Attending), (b) menanggapi (Responding), (c) menilai (Valuing). (d) menilai atau menghargai, (e) mengatur (Organization),
3.  Ranah Psikomotor.
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu.
D. Strategi Penilaian Berbasis Kelas.
Sekalipun tidak selalu sama, namun pada umumnya para pakar dalam bidang evaluasi/ penilaian pendidikan merinci kegiatan evaluasi hasil belajar ke dalam 6 (enam) langkah pokok, yakni:
1.  Menyusun Rencana Evaluasi Hasil Belajar.
Sebelum evaluasi hasil belajar dilaksanakan, harus disusun lebih dahulu perencanaannya secara baik dan matang. Perencanaan evaluasi hasil belajar itu umumnya oleh Sudijono (2003:59) mencakup enam jenis kegiatan, yakni: (a) Merumuskan tujuan dilaksanakannya evaluasi. (b) menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi, (c) memilih dan menentukan teknik yang akan dipergunakan di dalam pelaksanaan evaluasi, (d)  Menyusun alat-alat pengukur dan penilaian hasil belajar peserta didik, (e) Menentukan tolak ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau patokan dalam memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi dan (f) Menentukan frekuensi dari kegiatan evaluasi hasil belajar itu sendiri (kapan dan seberapa kali evaluasi hasil belajar itu akan dilaksanakan).
2.  Menghimpun Data.
Dalam evaluasi hasil belajar, wujud nyata dari kegiatan menghimpun data adalah melaksanakan pengukuran, misalnya dengan menyelenggarakan tes hasil belajar (apabila evaluasi hasil belajar itu menggunakan teknik tes), atau melakukan pengamatan, wawancara, atau angket dengan menggunakan instrumen-instrumen tertentu berupa rating scale, check list, interview guide, atau questionnaire (apabila evaluasi hasil belajar menggunakan teknis non tes).
3.  Melakukan Verifikasi Data.
Data yang telah berhasil dihimpun harus disaring lebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Proses penyaringan itu dikenal dengan istilah penelitian data atau verifikasi data. Verifikasi data dimaksudkan untuk dapat memisahkan data yang “baik” (yaitu data yang dapat memperjelas gambaran yang akan diperoleh mengenai diri individu atau sekelompok individu yang sedang dievaluasi) dari data yang “kurang baik” (yaitu data yang akan menguburkan gambaran yang akan diperoleh apabila data itu ikut serta diolah).
4.   Mengolah dan Menganalisis Data.
Mengolah dan menganalisis hasil evaluasi dilakukan dengan maksud untuk memberikan makna terhadap data yang telah berhasil dihimpun dalam kegiatan evaluasi. Untuk keperluan itu, maka data hasil evaluasi perlu disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga “dapat berbicara”. Dalam menggolah dan menganalisis data hasil evaluasi itu dapat dipergunakan teknik statistik dan atau teknik non statistik, tergantung kepada jenis data yang akan diolah atau dianalisis. Dengan analisis statistic misalnya, penyusunan atau pengaturan dan penyajian data lewat tabel-tabel, grafik, atau diagram, perhitungan-perhitungan rata-rata, standar deviasi, pengukuran korelasi, uji benda mean, atau uji benda frekuensi dan sebagainya akan dapat menghasilkan informasi-informasi yang lebih lengkap dan amat berharga.
5.   Memberikan Interpretasi dan Menarik Kesimpulan.
Memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi belajar pada hakikatnya adalah merupakan verbalisasi dari makna yang terkandung dalam data yang telah mengalami pengolahan dan penganalisisan itu. Atas dasar interpretasi terhadap data hasil evaluasi itu pada akhirnya dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan tertentu. Kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi itu sudah barang tentu harus mengacu kepada tujuan dilakukannya evaluasi itu sendiri.
6.  Tindak Lanjut Hasil Evaluasi.
Bertitik tolak dari hasil evaluasi yang telah disusun, diatur, diolah, dianalisis dan disimpulkan sehingga dapat diketahui apa makna yang terkandung di dalamnya, maka pada akhirnya evaluator akan mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang dipandang perlu sebagai tindak lanjut dari kegiatan hasil evaluasi tersebut. Harus senantiasa diingat bahwa setiap kegiatan evaluasi menuntut adanya tindak lanjut yang konkrit. Tanpa diikuti oleh tindak lanjut yang konkrit, maka pekerjaan evaluasi itu hanya akan sampai kepada pernyataan, yang menyatakan bahwa; “saya tahu, bahwa begini dan itu begitu”. Apabila hal seperti itu terjadi, maka kegiatan evaluasi itu sebenarnya tidak banyak membawa manfaat bagi evaluator.
E.  Pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas dalam Proses Pembelajaran.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari diri individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan.
Dalam pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup 3 (tiga) tahapan yang dalam 3 (tiga) tahapan tersebut dapat dilakukan penilaian kelas. Tiga tahapan dimaksud, antara lain: (1) Pretest (tes awal). (2) Proses Pembelajaran. (3) Postest (tes akhir).
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Depdiknas, 2002. Ringkasan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah, Jakarta:  Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.
Hasan Chalijah, 1994.  Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan. Penerbit : Al-Ikhlas Surabaya
Soetopo H, 2002 :  Pendekatan Joyful Learning Dalam Pembelajaran PLH. Makalah disampaikan Pada seminar Nasional ‘ Pengembangan Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang Diselenggarakan Oleh Proyek PKLH Ditjen Dikdasmen  Depdiknas Jakarta 20 agustus 2002.
Sudijono, Anas, 2003. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Thoha, M. Chabib, 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Undang Undang  RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidkan Nasional (SISDIKNAS). Penerbit :  CITRA UMBARA Bandung

PENGERTIAN BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR

A. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidak pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh murid sebagai peserta didik.
Jika belajar diartikan sebagai suatu kegiatan menghafal sejumlah fakta-fakta, maka seseorang yang telah belajar yang ditandai dengan banyaknya fakta-fakta yang dapat di hafalkan guru yang berpendapat demikian akan merasa puas jika murid-muridnya telah sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala.
Adapula yang berpendapat bahwa belajar adalah sama saja dengan latihan, sehingga hasil belajar akan nampak dalam keterampilan-keterampilan tertentu. Sebagai hasil latihan, untuk banyak memperoleh kemajuan, seseorang harus dilatih dalam berbagai aspek tingkah laku sehingga diperoleh suatu pola tingkah laku yang otomatis, seperti misalnya agar seorang anak mahir dalam akuntansi maka ia harus banyak dilatih mengerjakan soal-soal akuntansi.
Pendapat orang tentang belajar bermacam-macam. Adanya perbdaan pendapat tersebut disebabkan karena adanya kenyataan bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-macam. Banyak jenis kegiatan yang oleh kebanyakan orang dapat disepakati sebagai perbuatan belajar, misalnya menirukan ucapan kalimat, mengumpulkan perbendaharaan kata, mengumpulkan fakta-fakta, menghafal lagu dan lain sebagainya.
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono tentang pengertian belajar yaitu :
Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan di dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan dinyatakan dalam seluruh aspek tingkah laku.
Selanjutnya pengertian belajar dikemukakan oleh Herman H. Hudojo, sebagai berikut :
Karena itu seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu menjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang dapat diamati dan berlaku dalam waktu relative lama itu disertai usaha orang tersebut sehingga orang itu dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi mampu mengerjakannya.
Belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku, yang menetap dalam waktu relatif lama. Definisi tentang belajar yang dikemukakan oleh Syamsu Mappa di dalam bukunya, yaitu :
Belajar pada hendaknya adalah kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya sendiri, baik dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan baru maupun dalam bentuk sikap dan nilai yang positif. Selama berlangsungnya kegiatan belajar, terjadi proses interaksi antara orang yang melakukan kegiatan yang belajar yaitu siswa/ mahasiswa dengan sumber belajar, baik berupa manusia yang berfungsi sebagai fasilitator yaitu guru/ dosen maupun yang berupa non manusia.
Dari ketiga pengertian tentang belajar yang di kemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat ditarik suatu pengertian mengenai belajar yaitu, proses interaksi seseoranng dengan sumber belajar menyebabkan terjadi perubahan tingkah laku pada diri orang tersebut baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Perubahan yang terjadi dalam diri individu banyak sekali baik sifat maupun jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri individu merupakan perubahan dalam arti belajar.
Ada beberapa ciri peubahan tingkah laku dalam belajar dapat penulis dikemukakan sebagai berikut :
1. Perubahan yang terjadi secara sadar
Ini berarti bahwa individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan dalam dirinya, sekurang-kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya, “misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kebiasaannya bertambah”. Jadi perubahan tingkah lakuindividu yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan tidak sadar, tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar.
2. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya.
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh.
Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu itu sendirinya.
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara atau temporeryang terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, dan sebagainya, tidak dapat digolongkan sebagai perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap, misalnya kecakapan seseorang memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang begitu saja melainkan akan terus dipergunakan atau dilatih.
5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
Bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena adanya tujuan yang akan dicapai. Perubahan yang terjadi di dalam belajar mengarah kepada perubahan yang terjadi di dalam belajar mengarah kepada perubahantingkah laku yang benar-benar disadari. Misalnya saja seseorang yang belajar mengetik, sebelumnya sudah menetapkan apa yang mmungkin dapat dicapai dalam belajar mengetik, atau tingkat kecakapan mana yang dicapainya. Dengan demikian perbuatan belajar yang dilakukan senantiasa terarah kepada tingkah laku yang telah ditettapkan sebelumnya.
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh individu melalui proses belajar adalah merupakan perubahan keseluruhan tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono yaitu, “Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya”.
B. Tujuan Belajar
Jika dirinci, sebenarnya tujuan belajar itu sangat banyak, dan untuk mencapai suatu tujuan harus diciptakan suatu system lingkungan tertentu. Apabila tujuan belajar itu adalah pengembangan nilai efektif, maka memerlukan system lingkungan yang berbeda dengan tujuan belajar lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman yaitu, “Tujuan belajar untuk pengembangan nilai afeksi memerlukan system lingkungan yang berbeda dengan system yang dibutuhkan untuk belajar pengembangan gerak, dan begitu seterusnya”. (Sadirman, 1990 ; 28)
Tujuan-tujuan belajar yang diusahakan untuk dicapai dengan tindakan intruksional, biasanya berbentuk pengetahuan dan keterampilan, serta sikap sedangkan tujuan-tujuan yang lebih merupakan hasil sampingan yaitu misalnya : kemampuan berfikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima pendapat orang lain.
Secara umum tujuan belajar itu ada tiga jenis yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan pengetahuan
Mempunyai pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dengan perkataan lain tidak dapat mengembangkan kemampuan berfikir tanpa bahan pengetahuan. Sebaliknya kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecendrungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih dominan.
Adapun jenis interaksi atau cara yang dipergunakan untuk kepentingan itu pada umumyadengan model kuliah atau menggunakan metode ceramah, pemberian tugas-tugas bacaan. Dengan cara demikian anak didik/siswa akan diberikan pengetahuan sehingga menambah pengetahuannya.
2. Penambahan konsep dan keterampilan
Penambahan konsep atau merumuskan konsep juga memerlukan suatu keterampilan. Jadi keterampilan yang bersifat jasmani adalah keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat diamati, sehingga akan menitik beratkan pada keterampilan gerak/penampilan anggota tubuh seseorang yang sedang belajar.
Sedangkan keterampilan rohani lebih rumit, karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah yang dapat dilihat, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan serta kketerampilan berfikir, kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep.
Keterampilan tentang sesuatu dapat dikembangkan di dalam diri anak, dengan cara memberikan latihan-latihan.
Demikian juga mengungkapkan perasaan melalui bahasa tulis atau lisan. Interaksi yang mengarah kepada pengembangan keterampilan mempunyai kaidah-kaidah tertentu dan bukan semata-mata hanya menghafal atau meniru
3. Pembentukan sikap
Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk ini diperlukan kecakapan mengarahkan motivasi dan berfikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau modal.
Dalam interaksi belajar mengajar guru akan senantiasa diobservasi,dilihat, didengar, ditiru, semua perilakunya oleh para siswanya. Dengan demikian besar kemungkinannya para siswa akan meniru sikap dan perilaku gurunya.
Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari penanaman nilai-nilai luhur kepribadian bangsa yaitu pancasila serta nilai-nilai keagamaan. Oleh karena itu guru tidak sekedar sebagai pengajar, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang selalu berusaha menanamkan, mewariskan nilai-nilai luhur tersebut kepada anak didiknya.
Jadi pada dasarnya tujuan belajar itu adalah untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Hal ini sesuai dengan pendapat Saediman yaitu :
a. Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif)
b. Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif)
c. Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik).
C. Beberapa Aktivitas dalam Belajar
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh aktivitas belajar yaitu :
1. Mendengarkan
Dalam kehidupan sehari-hari manusia saling berinteraksi atau bergaul sesamanya. Dalam pergaulan tersebut terjadi komunikasi verbal berupa percakapan. Percakapan memberikan situasi tersendiri bagi orang-orang yang terlibat ataupun yang tidak terlibat langsung dalam percakapan tersebut, tetapi secara aktif mendenggarkan percakapan itu, maka dalam hal yang demikian dapat terjadi proses belajar.
Dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ada ceramah atau kuliah dari guru atau dosen. Tugas siswa adalah mendengarkan. Dengan ceramah, tidak semua orang dapat memanfaatkan situasi ini untuk belajar. Seseorang dapat dikatakan belajar apabila ia mendengarkan ceramah dari guru, didorong oleh kebutuhan, motivasi dan tujuan tertentu.
2. Memandang/melihat
Setiap stimulus visual member kesempatan bagi seseorang untuk belajar. Agar materi pelajaran dapat dikuasai dengan sebaik-baiknya oleh siswa, maka di dalam proses belajar mengajar perlu juga dilibatkan indera penglihatan, dengan cara observasi atau mengamati obyek yang sedang di bahas, misalnya di dalam pelajaran ekonomi, untuk membahas tentang perekonomian maka sebaiknya dilakukan praktek yaitu mengamati kondisi ekonomi yang ada dimasyarakat.
3. Meraba dan mencicipi/mengecap
Meraba, mencium/membau dan mengecap adalah aktivitas sensoris seperti halnya pada mendengarkan dan memandang. Segenap stimulus yang dapat diraba, dicium, atau dikecap merupakan situasi yang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk belajar.
Aktivitas meraba, mencium atau mengecap sesuatu obyek dapat dikatakan belajar, apabila aktiuvitas-aktivitas itu didorong oleh keperluan, motivasi untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
4. Menulis dan Mencatat
Setiap aktivitas penginderaan yang mempunyai tujuan, akan memberikan kesan-kesan yang berguna bagi aktivitas belajar selanjutnya. Kesan-kesan itu merupakan materi untuk maksud-maksud belajar selanjutnya
Materi atau obyek yang ingin dipelajari lebih lanjut harus member kemungkinan untuk dipraktekkan. Beberapa materi di antaranya terdapat di dalam buku-buku. Untuk keperluan belajar dapat dibuat catatan dari setiap buku yang pernah dibaca. Bahkan dalam situasi seperti ceramah, diskusi, demonstrasi dan sebagainya dapat dibuat catatan untuk keperluan belajar dimasa-masa selanjutnya.
5. Membaca
Belajar adalah aktif, artinya apabila membaca untuk tujuan belajar hendaknya dilakukan dengan serius atau dengan sungguh-sungguh. Membaca untuk keperluan belajar, misalnya harus dimulai dengan memperhatikan judul-judul bab, topik-topik utama dari sebuah buku, dan berorientasi kepada keperluan dan tujuan. Kemudian memilih topic-topik utama dari sebuah buku, dan berorientasi kepada keperluan atau tujuan itu.
6. Membuat Ikhtisar atau Ringkasan
Banyak orang merasa terbantu dalam belajarnya karena menggunakan ikhtisar-ikhtisar materi yang dibuatnya. Ikhtisar atau ringkasan memang dapat membantu dalam hal mengingat atau mencari kembali materi dalam buku.
7. Mengingat
Mengingat dengan maksud agar ingat tentang sesuatu belum termasuk sebagai aktivitas belajar. Mengingat yang didasari atas kebutuhan serta kesadaran untuk mencapai tujuan belajar lebih lanjut adalah termasuk aktivitas belajar, apalagi jika mengingat itu berhubungan dengan aktivitas-aktivitas belajar lainnya.
8. Berpikir
Berpikir adalah termasuk aktivitas belajar. Dengan berpikir, orang memperoleh penemuan baru, setidaknya orang akan menjadi tahu tentang hubungan antar sesuatu.
9. Latihan atau Praktek
Latihan atau praktek termasuk aktivitas belajar. Orang yang melaksanakan kegiatan berlatih tentunya sudah mempunyai dorongan untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat mengembangkan sesuatu aspek pada dirinya.
Latihan atau praktek merupakan salah satu aktivitas belajar yang seharusnya selalu dilakukan oleh individu yang belajar. Misalnya dengan latihan mengerjakan soal-soal Matematika akan memperbesar kemampuan dalam memahami dan menguasai pelajaran matematika tersebut.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Proses belajar adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam tingkah laku serta kecakapan, berhasil atau tidaknya belajar itu tergantung kepada bermacam-macam faktor.
Berdasarkan asalnya, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang belajar, sedangkan faktor-faktor internal yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu yang belajar.
Hal ini sesuai dengan pendapat M. Ngalim Purwanto dalam sebuah bukunya yaitu :
1. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
2. Faktor yang ada diluar individu yang kita sebut faktor sosial.
Yang termasuk ke dalam faktor individual antara lain: faktor kematangan/pertumbuhan pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mngajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.
Berikut ini dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar yaitu :
1. Motivasi
Seseorang akan berhasil dalam belajar, apabila pada dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar.
Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah yang disebut motivasi. Menurut W.S. Winkel, “ Motivasi adalah daya penggerak dari dalam diri untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai tujuan. Motivasi merupakan suatu kondisi internal atau disposisi…”.
Dengan memberikan motivasi dimaksudkan untuk menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan anak-anak untuk mau belajar. Anak yang mempunyai intelegensi yang tinggipun apat saja gagal dalam belajarnya karena kekurangan motivasi, hal ini sesuai dengan pendapat S. Nasution yaitu :
Anak mempunyai intelegensi tinggi mungkin saja gagal karena kekurangan motivasi. Hasil baik tercapai dengan motovasi yang tepat. Anak yang gagal tak begitu saja dapat dipersalahkan.
Mungkin gurulah yang takberhasil memberikan motivasi yang membangkitkan kegiatan pada anak.
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsunngan dari kegiatan belajar dan yang memberiakn arah pada kegiatanbelajar itu, maka tujuan yang diketahui oleh siswa tercapai. Dikatakan keseluruhan karena biasanya ada beberapa motif, yang bersama-sama menggerakan sistem untuk belajar, motivasi belajar merupakan faktor psikis yag bersifat nonintelektual.
Peran motivasi yang khas adalah dalam hal meningkatkan gairah/semangat belajar, siswa yang bermotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
2. Peranan Hukuman Dan Penghargaan
Penghargaan dan Hukuman dapat merupakan motivasi dalam belajar sama besarnya. Menurut Pasaribu dan B. Simanjuntak, “ Hukuman membuat anak tidak melakukan sesuatu ( Stoping Out ), sedang penghargaan ( Reward ) membuat sesuatu perbuatan dilakukan “.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukuman atau penghargaan yang diberikan oleh guru kepada anak-anak yang memang patut menerimanya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belajar.
3. Suasana Lingkukan Eksternal
Suasana lingkungan eksternal ini menyangkut bayak hal antara lain, cuaca, kondisi tempat belajar, misalnya kebersihan, letak sekolah, pengaturan fisik kelas, ketenangan. Suasana ruang kelas, misalnya sangat terang, remang-remang atau gelap.
Faktor- faktor ini mempengaruhi sikap dan reaksi individu yang belajar adalah berinteraksi dengan lingkungannya.
4. Kematangan
Kematangan dicapai individu dari proses pertumbuhan fisiologisnya, “ Kematangan terjadi akibat adanya perubahan-perubahan kuantitatif di dalam struktur jasmani dabarengi dengan perubahan-perubahan kualitatif terhadap struktur tersebut”. ( Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991;137).
Kematangan memberikan kondisi dimana fungsu-fungsi otak menjadi lebih berkembang. Dengan berkembangnya fungsi-fungsi otak dan sistem syaraf, hal ini akan menumbuhkan kapasitas mental seseorang.
5. Faktor Usia Kronologis
Pertambahan dalam usia sesalu disertai dengan proses pertumbuhan dan perkembangan, “ semakin tua usia individu, semakin meningkat pula kematangan berbagai fungsi fisiologinya”.
Dengan demikian anak yang lebih tua usianya tentu lebih kuat, dan lebih sanggup melaksanakan tugas-tugas yang lebih berat, lebih mampu mengarakan energi dan perhatiannya dalam waktu yang lebih lama.
6. Kapasitas Mental
Kapasitas adalah potensi untuk mempelajari serta mengembangkan berbagai keterambilan/kecakapan. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono yaitu, “ Dalan tahap perkembangan tertentu, individu mempunyai kapasitas-kapasitas mental yang berkembang akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisiologis pada sistem syaraf dan jringan otak “.
Bakat yang dibawa oleh individu sejak dilahirkan serta pengaruh lingkungan dapat menyebabkab berkembangnya kapasitas mental individu yang berupa intelegensi. Oleh karena latar belakang heriditas dan lingkungan individu berbeda, maka intelegensi masing-masing individuan bervariasi.
7. Guru dan Cara Mengajarnya
Dalam proses belajar mengajar disekolah, faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor yang penting. Bagaimana sikap dan kepribadian guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada anak-anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai anak.
8. Ingatan
Ingatan adalah merupakan salah satu fungsi jiwa yang penting dalam belajar, terutama yang menyangkut mereproduksikan kembali apa-apa yang telah dipelajari.
Menurut Sardiman didalam bukunya menyebutkan bahwa ingatan berfungsi, sebagai berikut :
1. Mencamkan atau menerima kedan-kesan dari luar
2. Menyimpan kesan,
3. Memproduksi kesan, oleh karena itu ingatan merupakan kecakapan untuk memproduksi kesan-kesan didalam belajar.
9. Tanggapan
Tanggapan adalalah gambaran/kesan-kesan yang tinggal dalam ingatan setelah seseorang malakukan pengamatan atau observasi terhadap sesuatu obyek. Tinggi rendahnya intensitas tanggapan yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan pengaruh terhadap hasil belajarnya.
Demikian telah penulis kemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi belajar, penulis menyadari bahwa masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi belajar.
Namun demikian penulis berpendapat bahwa apa yang telah penulis kemukakan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi belajar seperti tersebut di atas secara umum, telah memadai.
E. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah hasil belajar yang diperoleh siswa selama batas waktu tertentu. Ada suatu pendapat pendapat yang mengatakan bahwa prestasi adalah keberhasilan siswayang di capai selama waktu tertentu, dalam sejumlah mata pelajaran yang dimaksud dalam penulisan ini adalah bukti keberhasilan dan peruahan siswa dalam penguasaan pengetahuan, pemahaman, keterampilan nilai sikap melalui tahapan-tahapan evaluasi belajarbyang dinyatakan dengan nilai.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian prestasi belajar, baiklah penulis kemukakan beberapa pendapat para ahli. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, prestasi adalah “ Hasil yang telah dicapai ( dilakukan, dikerjakan dan sebagainya”.
Sedangkan menurut W.S. Winkel bahwa, “ Prestasi adalah bukti keberhasilan usaha yang di capai “.
Keberhasilan juga ditentukan oleh motivasi, bimbingan dari orang tua, karena orang tua merupakan orang yang bertanggung jawab dilingkungan keluarga terhadap keberhasilan anaknya. Hasil belajar menurut Helmart Hiedeis adalah sebagai berikut :
Tahap pertama kalau siswa telah dapat mengutarakan kembali apa yang dipelajarinya dai ingatannya. Apa yang diperolehnya dengan cara begini menjadi dasar bagi bentuk belajar yang lebih maju. Tahap kedua tercapai kalau siswa dapat mengorganissikan sendiri dari tinjauan lain yang baru, artinya apa yang telah dipelajarinya prinsip organisasi tertentu. Tahap ketiga menghendaki kecakapan mentransper memakaikan cara-cara pemecahan persoalan terhadap masalah-masalah yang serupa. Tahap keempat ialah berfikir produktif dalam pemecahan masalah yang menghendaki kecakapan untuk menemukan sendiri masalah-masalahnya mencari kriteria pemecahan sendiri dan mengkritik hasilnya secara kritis.
Prestasi yang dicapai siswa tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya intelegensi, motivasi dalam belajar, faslitas belajar dan tidak kalah pentingnya keikutsertaan orang tua membantu membimbing, serta membantu dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anaknya.
Prestasi belajar siswa di sekolah dapat dilihat pada angka raport atau ada daftar nilai formatif, sumatif atau nilai ebtanas pada akhir kelulusan siswa.
Ditinjau dari segi didaktis maka penilaian proses belajar ini sangat penting, karena mereka ingin mengetahui kemajuan yang telah dicapai yang dapat mempengaruhi pekerjaan-pekerjaan selanjutnya, sehingga diharapkan prsetasi berikutnya akan lebih meningkat.
Dengan mengetahui nilai mereka, setidak-tidaknya dapat menjadikan motivasi untuk lebih giat dalam belajar sehingga mencapai prestasi yang lebih baik. Sedangkan bagi guru tidak hanya menilai hasil usaha murid saja, tetapi sekaligus ia juga menilai hasl usahanya sendiri.
Ditinjau dari segi dasar psikologis, penilaian belajar merupakan kepuasan batin baik siswa sendiri, maupun bagi guru dan orang tua siswa sendiri ingin mengetahui hasil dari bimbingan, pengarahan serta petunjuk yang diberikan oleh orang tuanya.
Sedangkan bila ditinjau dari segi administratif, bahwa prestasi siswa itu merupakan :
1. Data untuk menentukan status anak didik dalam kelasnya, yaitu apakah anak didik tersebut tergolong anak pandai, sedang atau kurang.
2. merupakan inti laporan tentang kemajuan siswa-sisw pada orang tuanya. Deprtemen yang berwenang, guru-guru dan murid itu sendiri.
F. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Tumbuh adalah berbeda dengan berkembang. Pribadi yang tumbuh mengandung arti yang berbeda dengan pribadi yang berkembang. Namun demikian kedua proses tersebut yaitu tumbuh dan berkembang berlangsung secara independen, artinya saling tergantung satu sama lainnya. Kedua proses itu tidak bisa dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang murni,berdiri sendiri, akan tetapi keduanya dapat dibedakan.
Menurut Kartini Kartono, “ Pertumbuhan ialah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, ….”.
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitas pada individu, misalnya bertambah panjangnya tubuh tubuh anak, tubuh bertambah berat, tulang-tulang menadi tambah panjang/besar dan kuat, kemudian perubahan dalam sistem parsyarafan dan perubahan-perubahan pada struktur jasmaniah. Dengan perkataan lain pertumbuhan dapat disebut sebagai proses perubahan dan proses pematangan fisik. Perkembangan merupakan suatu perubahan yang bersifat kualitatif, hal ini sesuai dengan pendapat Abu Ahmadi, “ Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif “. ( Abu Ahmadi, 1991;61 ).
Perkembangan tidak ditekankan pada segi material, melainkan pada segi fungsional.
Selanjutnya menurut Kartini Kartono, “ Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko-fisik hasil dari prosespematangan fungsi-fungsi fisik, pematangan fungsi-fungsi psikis dan usaha belajar oleh anak, dalam mencobakan segenap potensi rohani dan jasmaninya.
Segenap tingkah laku anak itu dirangsang dari dalam yaitu dorongan-dorongan dan insting-insting tertentu guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan menimbulkan frustasi, hal ini sesuai dengan pendapat Kartini Kartono yaitu, “ Jika kebutuhan-kebutuhan yang vital-biologis maupun yang sosial kultural tersebut tidak atau belum terpenuhi, maka akan timbul ketegangan, iritasi dan frustasi “.
Anak-anak yang normal dan sehat senantiasa dibekali oleh alam dengan implus-implus untuk mencapai satu tujuan. Manusia senantiasa berusaha mengisi hari ini dan hari esok dengan kegiatan-kegiatan baru, berekplorasi, dan berekspremen untuk mencapai satu tujuan.
Apabila kemampuan intelektual anak sudah berkembang, maka ia akan memperlihatkan rasa ingin tahunya, dan terus menerus bertanya tentang macam-macam peristiwa. Sejak anak dilahirkan hingga akhir hayatnya, ia selalu ingin maju.
Jadi di dalam perkembangan anak terdapat impuls-impuls bawaan yang mendorong segenap mekanisme dari potensi untuk berfungsi aktif, berkembang dan terus maju. Dapat dikatakan ahwa mekanisme perkembangan anak memang terjadi alami. Guna mendapatkan wawasan yang lebih jelas mengenai perkembangan anak, orang membagi masa perkembangan dalam beberapa periode. Ha ini disebabkan oleh karena pada saat-saat perkembangan tertentu, anak-anak secara umum memperlihatkan ciri-ciri dan tingkah laku atau karakteristik yang hampir sama.
Pada umumnya pada Sarjana Ilmu Jiwa mengemukakan pembagian periode tadi menurut pertimbangan sendiri. Hal ini terutama disebabkab oleh karena batas-batas yang jelas dari masa-masa perkembangan itu memang tidak bisa dipastikan dengan seksama.
Periodesasi perkembangan anak ditinjau dari berbagai hal yang menonjol, misalnya perkembangan ego, perkembangan intelegensi, perkembangan biologis, perkembangan didaktis, atau perkembangan psikologis anak.
Menurut Johann Amos Comenius yang dikutip oleh Abu Ahmadi, dalam bukunya perkembangan anak yaitu sebagai berikut :
1. Scolo Materna ( Sekolah Ibu ) usia 0,0 – 6,0 , masa anak mengembangkan organ tubuh dan pancaindera itu dibawah asuhan ibu ( keluarga )
2. Skala Vermacula ( Sekolah Bahasa Ibu ) usia 6,0 – 12, 0, mengembangkan pikiran, ingatan dan perasaannya disekolah ( Bahasa Ibu ).
3. Scole Latihan ( Sekolah Bahasa Latin ), masa anak mengembangkan potensinya terutama daya intelektual dengan bahasa asing pada usia 12, 0 – 18,0.
4. Academica ( Akademi ) adalah media pendidikan yang tepat bagi anak usia 18, 0 – 24, 0 tahun 20.
Selanjutnya menurut Oswald Kroh, perkembangan anak dibagi dalam tiga fase yaitu sebagai berikut :
1. Dari lahir sampai masa menentang pertama, 4 tahun. Disebut pula sebagai masa kanak-kanak pertama.
2. Dari masa menentang pertama sampai pada masa menentang kedua 4 – 14 tahun. Disebut pula sebagai masa-masa keserasian atau masa bersekolah.
3. Masa menentang kedua sampai akhir masa muda. Disebut pula sebagai masa pematangan, 14 – 18 tahun. Batas Fase ketiga ini adalah akhir masa remaja 21.
Menurut Charlotte Buhler, masa perkembangan anak adalah sebagai berikut :
Fase pertama, 0 – 1 tahun : masa mnghayati obyek-obyek di luar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi. Terutama melatih fungsi motorik : yaitu fungsi ang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badab dan anggota tubuh.
Fase kedua, 2 – 4 tahun : masa pengenalandunia obyektif. Mulai ada pengenalan pada aku sendiri, dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamtan obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda di luar dirinya.
Fase ketiga, 5 – 8 tahun : masuk sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat luas ( misalnya Taman Kanak-Kanak, pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan, dan sekolah rendah ). Anak mulai belajar mengenal dunia sekitar secara obyektif.
Fase keempat, 9 – 11 tahun : masa sekolah rendah. Pada periode ini anak mencapai obyektivitas tertinggi. Masa penyelidik, kegiatan mencoba dan bereksperimen, yang distimulir oleh dorongan-dorongan mmeneliti dan rasa ingin tahu yang besar.
Fase kelima, 14 – 19 tahun : masa tercapainya sintese antara sikap kedalam batin sendiri dengan sikap keluar kepada dunia obyektif 22.
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan anak yaitu sebagai berikut :
1. Nativisme
Para ahli yang mmengikuti alian nativisme berpendapat bahwa perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir.
Tokoh utama aliran ini adalah Schopenhaer. Para ahli yang menganut teori nativisme mempertahankan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik, maka kemungkinan besar bahwa anaknya juga akan menjadi ahli musik, besar pokoknya keistimewaan yang dimiliki orang tua juga dimilki oleh anaknya.
Di pandang dari segi ilmu pendidikan, teori ini tidak dapat dibenarkan, sebab jika benar bahwa perkembangan anak itu hanya semata-mata dipengaruhi oleh faktor bakat atau pembawaan maka sekolah sebagai salah satu lingkungan bagi anak tidak dapat berbuat apa-apa, dalam rangka menyiapkan anak-anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa. Artinya pengaruh lingkungan dan pendidikan dianggap tidak ada.
Dalam kenyataannya sejak zaman dahulu hingga sekarang sekolah-sekolah selalu didirikan dan dilengkapi sarana dan persyaratannya, guna menampung anak-anak yang ingin bersekolah dari berbagai jenis dan tingkatan bahkan sampai ke perguruan tinggi.
2. Empirisme
Para ahli yang menganut paham empirisme berpendapat bahwa perkembangan iru semata-mata tergantung kepada faktor lingkungan, seangkan faktor bakat yang dibawa sejak lahir tidak mempunyai pernan sam sekali.
Tokoh utama aliran empirisme yaitu John Locke. Jika sekitarnya paham empirisme ini benar, maka dapat diciptakan manusia yang ideal sebagai mana yang diinginkan asalkan dapat disediakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk itu.
Namun demikian kenyataannya menunjukan hal yang berbeda dari yang diharapkan. Banyak anak-anak orang kaya atau orang yang pandai mengecewakan orang tuanya karena kurang berhasil dalam belajar, walaupun fasilitas-fasilitas yang tersedia bagi mereka lebih dar cukup. Sebaliknya banyak dijumpai anak orang-orang yang kurang mampu sangat berhasil dalam belajar, walaupun fasilitas-fasilitas yang mereke perlukan sangat jauh dari mencukupi.
3. Konvergensi
Paham nativisme maupun paham empirisme adalah ekstrimen, tidak berpijak kepada kenyataan-kenyataan yang terjadi di dalam khidupan sehari-hari.
Paham yang dapat dianggap dapat menyembatani kedua paham tersebut adalah pahan Konvergensi, yang dirumuskan oleh Wiliam Stern. Paham konvergensi ini berpendapat bahwa didalam perkembangan individu baik bakat atau pembawaan maupun lingkungan keduanya mempunyai peranan yang sangat penting.
Tiap anak manusia yang normal, mempunyai bakat dan bakat tersebut akan berkembang apabila menemukan lingkungan yang sesuai. Dengan demikian jelaslah bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh bakat atau pembawaan dan lingkungan.
G. Masa Peka Dalam Belajar
Pertumbuhan dan kematangan itu berlangsung diluar kontrol anak manusia, dan diluar kemauan anak itu sendiri. Namun demikian setiap pengalaman positif dapat mengembangkan pribadi anak. Oleh pengalaman tersebut anak menjadi matang dan penghayatan hidupnya akan bertambah luas.
Berkembangnya suatu fungsi didorong ole suatu kekuatan dari dalam, seingga pada suatu saat terdapat kepekaan dan kematangan untuk melatih fungsi tertentu didalam jiwa anak, oleh karena itu saat-saat yang demikian tersebut masa peka atau saat kematangan.
Masa peka tiap-tiap individu tidaklah selalu sama waktunya, artinya individu yang mempunyai usia kronologis yang sama, belum tentu mempunyai masa peka yang sama pula. Jadi masa peka tiap-tiap individu, datangnya berbeda-beda tidak tergantung kepada usia kronologis.
Cepat atau lambat masa peka untuk belajar bagi seorang individu dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Kartini Kartono yaitu sebagai berikut :
Pertama, faktor-faktor sebelum lahir. Umpan : peristiwa kekurangan nutrisi pada ibu dan janin : janin terkena virus, keracunan sewaktu bayi ada dalam kandungan : terkena infeksi oleh bakteri syiphilis, terkena penyakit TBC, kholera, typhus, gondok, sakit gula (diabetis melitus), dan lain-lain.
Kedua , faktor ketika lahir, antara lain ialah : pendarahan pada bagian kepala bayi, disebabkan oleh tekanan dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan, dan lain-lain.
Ketiga, faktor sesudah lahir antara lain : oleh pengalaman traumatik (luka-luka karena bayi jatuh : kepala terpukul, atau mengalami serangan sinar matahari, infeksi pada otak atau selaput otak.
Keempat, faktor psikologis : antara lain bayi ditinggalkan ibu, ayah atau kedua orang tuanya. Sebab lain ialah anak-anak dititipkan dalam suatu institusional (rumah sakit), rumah yatim piatu, yayasan perawatan bayi dan lain-lain), sehingga mereka kurang sekali mendapatkan perawatan jasmaniya dan cinta kasih.
Anak-anak yang belajar akan lebih menunjukkan prstasi yang baik apabila didorong oleh masa kematangan atau masa kepekaan. Sehubungan dengan masa kepekaan tersebut hendaknya para pendidik mengusahakan agar pada saat datangnya masa kepekaan tadi, tidak menghalangi atau menghambat aktivitas-aktivitas belajar yang dilakukan oleh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Dja’far Sabran, Risalah Tauhid, Sifat Dua Puluh, (Samarinda, 1979).
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, ( Semarang, Tanjung Mas Inti, Revisi Terjemah, 1992)
Dra. Rostiah. N.K, Didaktik Metodik,(Jakarta:Bumi Aksara anggota IKAPI, 2002)
Departemen Agama RI, Al Qur;An Dan Terjemahnya. Revisi Terjemah 1992. Penerbit: PT Tanjung Mas Inti.
Hasbi As- Siddiqy, Sejarah Pengantar Ilmu Kalam,(jakarta: bulan bintang,1973)
H.M. Zurkani Yahya, Teologi Al- Ghozali, Pendekatan Metodologi, ( Pustaka Pelajar, anggota IKAPI,1986),
H. Zainuddin Hamidy,dkk. Terjemah Shahih Bukhori, jilid I, (Jakarta, Widjaya)
Jusuf Djayadisastra, Metode-Metode Mengajar, Jilid I, (Bandung: Angkasa, 2002)
Muhammadiyah Ja’far, Beberapa Aspek Pendidikan Islam,(Surabaya:Al-Ikhlas, 1982).
Ma’mur Daud, Terjemah Hadits Shahih Muslim, jilid IV, (Jakarta : Widjaya ).
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Pentafsiran Al- Quran, Jakarta. 1972.
Siman Hadi Widya Prakosa Tim Dosen Fip- Ikip Malang, Dasar – Dasar Kependidikan. Cet III Penerbit : Usaha Nasional. 1988.
Undang – Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
WJS purwadarminto, kamus umum bahasa Indonesia. ( Jakarta: Balai pustaka )
Winarno Surakhmad, Metode Pengajaran Nasional, ( Bandung, Jemmars, 1979)

ILMU PENDIDIKAN DALAM PERSEPEKTIF IASLAM


A. Pendahuluan
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai.
Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
B. Pendidikan Dalam Perspektif Islam
Pengertian pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan. Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Langgulung (1997), pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Pendidik Islam ialah Individu yang melaksanakan tindakan mendidik secara Islami dalam situasi pendidikan islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Para ahli pendidikan lebih menyoroti istilah-istilah dari aspek perbedaan antara tarbiyyah dan ta’lim, atau antara pendidikan dan pengajaran. Dan dikalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah kepada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah (Hadist). Menurut Prof. Dr. Mohammad Athiyah al Abrasyi pendidik itu ada tiga macam :
1. Pendidikan Kuttab
Pendidikan ini ialah yang mengajarkan al Qu’ran kepada anak-anak dikuttab. Sebagian diantara mereka hanya berpengetahuan sekedar pandai membaca, menulis dan menghafal al Qur’an semata.
2. Pendidikan Umum
Ialah pendidikan pada umumnya, yang mengajarkan dilembaga-lembaga pendidikan dan mengelola atau melaksanakan pendidikan Islam secara formal sperti madrasah-madrasah, pondok pesantren ataupun informal seperti didalam keluarga.
3. Pendidikan Khusus
Adalah pendidikan secara privat yang diberikan secara khusus kepada satu orang atau lebih dari seorang anak pembesar kerajaan (pejabat) dan lainnya.
C. Defenisi Ilmu Pendidikan Islam
Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori, tetapi isi lain juga ada ialah :
1. Teori.
2. Penjelasan tentang teori itu.
3. Data yang mendukung tentang penjelasan itu.
Islam adalah nama Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia ; ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al Qur’an dan hadist serta aqal. Penggunaan dasarnya haruslah berurutan :al Qur’an lebih dahulu ; bila tidak ada atau tidak jelas dalam al Qur’an maka harus dicari dalam hadist ; bila tidak ada atau tidak jelas didalam hadist, barulah digunakan aqal (pemikiran), tetapi temuan aqal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al Qur’an dan hadist.
D. Tujuan Umum Pendidikan Manusia
1. Hakikat manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme), sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya (konvergensi)
Manusia adalah makhluk utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
2. Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani tatkala manusia masih hidup didunia.
Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :
1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempattempat yang dibikin manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli[1] yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang dijelaskan dalam surat al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.
3. Manusia Sempurna Menurut Islam
A. Jasmani Yang sehat Serta Kuat dan Berketerampilan
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman). Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani, karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan dengan pembelaan Islam.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan dengan ciri lain yang dikehendaki ada pada Muslim yang sempurna, yaitu menguasai salah satu ketrampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
Para pendidik Muslim sejak zaman permulaan - perkembangan Islam telah mengetahui betapa pentingnya pendidikan keterampilan berupa pengetahuan praktis dan latihan kejuruan. Mereka menganggapnya fardhu kifayah, sebagaimana diterangkan dalam surat Hud ayat 37 :
“Dan buatlah bahtera itu dibawah pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan jangan kau bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu karena meeka itu akan ditenggelamkan”.
B. Cerdas Serta Pandai
Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai di tandai oleh banyak memiliki pengetahuan dan informasi. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat dilihat melalui indikator-indikator sebagai berikut :
a) Memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi.
b) Mampu memahami dan menghasilkan filsafat.
c) Rohani yang berkualitas tinggi.
Kekuatan rohani (tegasnya kalbu) lebih jauh daripada kekuatan akal. Karena kekuatan jasmani terbatas pada objek-objek berwujud materi yang dapat ditangkap oleh indera.
Islam sangat mengistemewakan aspek kalbu. Kalbu dapat menembus alam ghaib, bahkan menembus Tuhan. Kalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguh-sungguh. Bahkan iman itu, menurut al Qur’an tempatnya didalam kalbu.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunian dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
E. PENUTUP
Ilmu dalam perspektif Islam bukan hanya mempelajari masalah keagamaan (akhirat) saja, tapi juga pengetahuan umum juga termasuk. Orang Islam dibekali untuk dunia akhirat, sehingga ada keseimbangan. Dan ilmu umum pun termasuk pada cabang (furu’) ilmu agama.
Dan umat Islam sempat merasakan puncak keemasannya, dimana disaat bangsa Eropa mengidap penyakit hitam, umat islam sudah menemukan sabun, di saat jalan-jalan di Eropa kumuh, gelap, tidak teratur, umat islam sudah punya jalan-jalan yang indah, penerangan, bahkan sistem irigasi yang sudah maju.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2001
Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung, 1998